BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Keluarga merupakan akar bagi terbentuknya
masyarakat, bangsa, dan bahkan sebuah peradaban. Kesinambungan dalam
suatu masyarakat atau bangsa dapat mempengaruhi keseimbangan
keluarga-keluarga yang menjadi anggotanya. Jika keseimbangan keluarga di
dalam sebuah masyarakat itu baik, akan baiklah masyarakat itu;
sebaliknya, jika keseimbangan masyarakat itu buruk, akan menjadi buruk
pula masyarakat tersebut. Dalam sebuah keluarga, pelajaran pertama yang
diperoleh oleh seorang manusia adalah mencintai, menghormati, mengabdi,
menaruh perhatian dan taat, serta melaksanakan nilai-nilai moral.
Semuanya itu merupakan bunga-bungan yang mekar dari sebuah keluarga,
yang akan menciptakan keindahan dan keserasian dalam masyarakat, dan
yang memungkinkan manusia berjalan seiring dengan manusia-manusia
lainnya di dalam jagat raya ini. Jika pelajaran-pelajaran semacam itu
tidak diperoleh dari sebuah keluarga, muncullah manusia-manusia yang
kontradiktif, saling mencurigai, dan saling menjatuhkan.
Sejak zaman dahulu hingga sekarang,
manusia memiliki fitrah (naluri-naluri yang luhur). Pada dasarnya ia
memiliki keinginan untuk mencintai dan dicintai, mengasihi dan dikasihi,
menghormati dan dihormati. Dengan naluri-naluri itu, manusia dapat
menjalin rasa persaudaraan dan persamaan. Namun, ketika
keinginan-keinginan luhur itu tertutup oleh hawa nafsu yang tak
terkendali –tidak saling mencintai tetapi saling membenci, tidak saling
mengasihi tetapi saling mencurigai, tidak saling menghormati namun
saling mencerca—timbullah kemudian, dalam kehidupan manusia, rasa
permusuhan yang memecah belah.
Dalam filsafat pendidikan Islam
terkandung ajaran-ajaran untuk mendidik agar manusia menjadi baik serta
sadar akan fitrahnya. Sejak dahulu hingga sekarang bahkan untuk masa
yang akan datang, pada hakikatnya, sesuai dengan fitrahnya, manusia
mengakui adanya kekuatan yang maha besar, yang mengatur alam semesta ini
dan menguasai dirinya.
B. Perumusan Masalah
Untuk membatasi pembahasan dalam makalah ini dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Apa konsep dasar pendidikan Islam dalam pendidikan keluarga?
2. Seperti apa pengaruh Rumah terhadap Pendidikan keluarga?
3. Kenapa keluarga menjadi lembaga pendidikan yang pertama dan utama?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Dasar Pendidikan Keluarga Islam
Keluarga Muslim merupakan
keluarga-keluarga yang telah “tercerahkan” dan mempunyai tanggung jawab
yang paling besar, terutama dalam mendidik generasinya dan
generasi-generasi berikutnya untuk mampu menghindarkan dari perbudakan
materi. Karena lingkup masyarakat yang lebih luas telah terjebak dalam
pola hidup materialisme, dan secara tidak disadari bahwa sebagian besar
keluarga Islam juga telah tercemari olehnya, dan ini merupakan kendala,
maka keluarga-keluarga Islam yang sadar wajib membina generasi
penerusnya untuk dididik menjadi “khalifah-khalifah” pengendali materi,
bukan menjadi budak materi.
Dalam memperbaiki sebuah masyarakat,
Islam tidak pernah merusak apa yang telah ada, tetapi menyingkirkan
hal-hal yang membuat masyarakat itu tidak baik. Ketika Rasulullah
Muhammad saw. Diperintahkan untuk memperbaiki akhlak umat manusia,
terlebih dahulu beliau memperbaiki akhlak masyarakat yang hidup di
dekatnya. Tidak ada perintah untuk menghancurkan Ka’bah, pada masa itu,
yang dipenuhi berhala-berhala yang disembah oleh kaum kafir Quraisy.
Rasulullah saw. Membimbing masyarakat Arab dengan dakwahnya yang
meyakinkan bahwa manusia hanya patut menyembah Allah, tidak menyembah
kepada selain Allah. Dan untuk menyembah Allah, tidaklah patut dengan
mempersekutukan Allah dengan keyakinan kepada tuhan lain. Konsep tauhid
itulah yang pertama diajarkan oleh Rasulullah saw. Setelah konsep tauhid
disampaikan kepada masyarakat Arab, turunlah ayat-ayat yang mengatur
masalah kemasyarakatan dan tata peribadatan. Dengan pengertian lain,
yang paling pokok dalam ajaran Islam adalah pendidikan masyarakat,
terutama pendidikan keluarga yang menjadi inti dalam pembentukan sebuah
masyarakat.
Oleh karena itu, Nabi saw. sangat
memperhatikan betul masalah pendidikan keluarganya. Sebelum Nabi saw.
menyampaikan risalah Islam kepada masyarakatnya, saat pertama kali
beliau menerima wahyu di Gua Hira, terlebih dahulu beliau menyampaikan
masalah tersebut kepada keluarganya. Khadijah ra.istri Nabi saw.,
setelah mendengar misi yang disampaikan suaminya, melihat kejujuran Al-Amin,
yang selama bertahun-tahun hidup dengannya, tanpa ragu-ragu menerima
risalah tauhid itu. Demikian juga halnya putri-putri beliau dan seorang
anak angkat laki-laki yang masih sepupu dengannya, yang sejak kecil
berada di bawah asuhannya, Ali bin Abi Thalib. Setelah itu, beliau
menyampaikan risalah tersebut kapada keluarga-keluarga dekat yang lain
dan baru kemudian masyarakat yang lain.[i]
Tauhid merupakan konsep dasar dalam pendidikan Islam yang pertama,
serta pengertian tentang hakikatnya, yaitu tentang sifat-sifat Allah
swt. serta tanda-tanda kekuasaan-Nya perlu ditanamkan pada generasi
keluarga Muslim, sesuai dengan tingkatan usianya. Dengan demikian,
generasi yang terdidik dalam lingkungan keluarga Islam akan menyadari
bahwa Allah Maha Kuasa, dan karena ke-Maha Kuasa-an Allah itu, maka
hanya Allah-lah yang patut disembah. Segala materi atau benda yang ada
di dunia ini hanyalah makhluk ciptaan Allah yang menyiratkan tanda-tanda
kebesaran Allah swt.
Setelah meletakkan konsep tauhid, Nabi
saw. meletakkan konsep pendidikan akhlak, karena itulah misi utama
beliau di dalam menyampaikan risalah Islam, sebagaimana sabdanya, “Tidaklah aku diutus melainkan untuk menyempurnakan akhlak.”
Tauhid tanpa akhlak akan menciptakan umat Islam yang lemah. Akhlak
tanpa tauhid dapat membuat manusia tidak tahu apa tujuan hidupnya.
Pendidikan akhlak yaitu perintah-perintah
dan larangan-larangan Allah swt. dalam mengatur hubungan bermasyarakat.
Manusia disebut berakhlak mulia apabila segala tindakannya sesuai
dengan segala perintah dan larangan Allah swt. Akhlak Rasulullah saw.
disebut sebagai akhlak Qur’ani sehingga segala aturan Rasulullah saw.
sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Al-Qur’an.[ii]
Pendidikan akhlak dalam keluarga Islam
merupakan hal yang sangat penting setelah pendidikan tauhid. Karena itu,
tidaklah berlebihan atau bersifat terlalu mengagungkan jika kita
mencoba menggali pribadi-pribadi yang telah dipilih Nabi saw. dari
keluarga beliau sendiri. Selain itu, Al-Qur’an sendiri telah menyambut
mereka sebagai “keluarga yang suci”:
“…Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bayt, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (Q.S. 33:33)
Karena itu, umat Islam akan memiliki
pandangan dan pegangan yang jelas tentang siapa yang pantas diidolakan
dalam mengantisipasi setiap perubahan akibat perkembagan zaman.
Berkenaan dengan konsep dasar pendidikan
Islam yang ditanamkan di lingkungan keluarga, Luqman berwasiat kepada
anaknya. Dan wasiat ini merupakan wasiat yang lengkap. Allah berfirman
dalam Q.S Luqman ayat 12-19:
وَلَقَدْ ءَاتَيْنَا لُقْمَانَ الْحِكْمَةَ
أَنِ اشْكُرْ لِلَّهِ وَمَن يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ
وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ اللهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ {12} وَإِذْقَالَ لُقْمَانُ
لابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَابُنَيَّ لاَتُشْرِكْ بِاللهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ {13}
وَوَصَّيْنَا اْلإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى
وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ
إِلَىَّ الْمَصِيرُ {14} وَإِن جَاهَدَاكَ عَلَى أَن تُشْرِكَ بِي
مَالَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلاَ تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي
الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَىَّ ثُمَّ
إِلَىَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ {15}
يَابُنَيَّ إِنَّهَآ إِن تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِّنْ خَرْدَلٍ فَتَكُن
فِي صَخْرَةٍ أَوْ فِي السَّمَاوَاتِ أَوْ فِي اْلأَرْضِ يَأْتِ بِهَا
اللهُ إِنَّ اللهَ لَطِيفٌ خَبِيرٌ {16} يَابُنَيَّ أَقِمِ الصَّلاَةَ
وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى
مَآأَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ اْلأُمُورِ {17} وَلاَتُصَعِّرْ
خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلاَتَمْشِ فِي اْلأَرْضِ مَرَحًا إِنَّ اللهَ
لاَيُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ {18} وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ
مِن صَوْتِكَ إِنَّ أَنكَرَ اْلأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ {19}
12. Dan Sesungguhnya
telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, Yaitu: “Bersyukurlah kepada
Allah. dan Barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), Maka Sesungguhnya
ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan Barangsiapa yang tidak
bersyukur, Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”.
13. Dan (ingatlah)
ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran
kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah,
Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang
besar”.
14. Dan Kami
perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya;
ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah- tambah,
dan menyapihnya dalam dua tahun[1180]. bersyukurlah kepadaku dan kepada
dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.
15. Dan jika
keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan aku sesuatu yang tidak
ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya,
dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang
yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka
Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.
16. (Luqman
berkata): “Hai anakku, Sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat
biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi,
niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah
Maha Halus[1181] lagi Maha mengetahui.
17. Hai anakku,
dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan
cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap
apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal
yang diwajibkan (oleh Allah).
18. Dan janganlah
kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu
berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.
19. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan[1182] dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai. (Q.S. Luqman: 12-13)
[1180] Maksudnya: Selambat-lambat waktu menyapih ialah setelah anak berumur dua tahun.
[1181] Yang dimaksud dengan Allah Maha Halus ialah ilmu Allah itu meliputi segala sesuatu bagaimana kecilnya.
[1182] Maksudnya: ketika kamu berjalan, janganlah terlampau cepat dan jangan pula terlalu lambat.
Wasiat ini mencakup aspek-aspek tarbiyah sebagai berikut ini[iii]:
1. Sisi Akidah
Akidah yang murni dan
keimanan yang dalam kepada Allah merupakan asas dari tarbiyah yang
benar. Hal itu karena Allah adalah Tuhan yang patut disembah dengan
sebenarnya. Dialah Tuhan yang tidak tersembunyi baginya segala sesuatu
yang di langit dan di bumi serta Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Luqman, ketika memberi wasiat kepada
putranya, menjelaskan sebab dari hal itu padanya. Ia berkata:
“Sesungguhnya kesyirikan itu merupakan kezaliman yang besar.” Orang yang
menyekutukan Allah dengan sesuatu, dalam ibadahnya dan dalam akidahnya,
adalah kezaliman yang paling parah. Jadi, kezaliman dalam arti
hakikatnya mempunyai makna meletakkan kebenaran atau hak tidak pada
tempatnya dan beribadah kepada selain Allah.
2. Sisi Perbuatan
a. Mendirikan Shalat
Luqman lalu menyuruh
anaknya mendirikan shalat untuk mewujudkan hubungan yang tak
terputus dengan Allah swt. Shalat merupakan indikasi pertama dari iman
kepada Allah karena shalat menyimpan berbagai faedah. Shalat
mencegah orang yang melaksanakannya dengan ikhlas dari perbuatan keji
dan munkar
b. Amar Makruf Nahi Munkar
Ketika seorang hamba
memiliki sifat ini, berarti ia telah memberikan kontribusi
positif dan riil dalam menyumbangkan kebaikan untuk masyarakat, berupa
menyebarkan kebaikan dan mencegah tersebarnya kerusakan dan
kebejatan. Ini adalah sifat yang harus dimiliki umat Islam agar menjadi
layak untuk menduduki posisi yang terhormat di antara
bangsa-bangsa, Allah berfirman:
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ
لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ
وَتُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَلَوْءَامَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا
لَّهُمْ مِّنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرَهُمُ الْفَاسِقُونَ
110. Kamu adalah
umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.
Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di
antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang
yang fasik. (Q.S. Ali-Imran: 110)
c. Bersifat Sabar yang Terpuji
Seorang manusia harus
bersabar atas musibah yang menimpa diri, harta atau
keluarganya, akibat melaksanakan dakwah kepada kebaikan ketika ia
mengarungi perjalanan hidup. Sikap sabar ini merupakan karakter dan
sikap orang-orang yang memiliki azam yang benar.
3. Sisi Perilaku Secara Umum
Wasiat diatas mencakup
juga akhlak yang harus dimiliki oleh seorang anak terhadap orang tuanya
dan terhadap masyarakat yang dia merupakan salah satu bagiannya. Hal itu
adalah sebagai berikut.
a. Berbakti kepada Kedua Orang Tua
Allah swt. telah
berpesan kepada anak supaya berlaku baik terhadap orang tua di
banyak tempat dalam Al-Qur’an. Dia mengaitkan hal itu dengan mengesakan
Allah dan larangan menyekutukan-Nya, di samping menggabungkan
syukur kepada-Nya dengan syukur kepada mereka, karena kedudukan mereka
yang tinggi.
b. Berbakti kepada Kedua Orang Tua (Birrul Walidain)
Kata “al-Birr” mencakup segala hal kebaikan. Para nabi dan rasul Allah merupakan teladan dalam berbuat birr kepada orang tua. Kaum yang saleh setelahnya, mengikuti jalan mereka. Allah berfirman tentang Yahya,
Dan seorang yang berbakti kepada kedua orang tuanya, dan bukanlah ia orang yang sombong lagi durhaka.
c. Berperilaku Baik di Tengah Masyarakat
1. Tidak Menjauh dari Masyarakat atau Sombong Terhadapnya
Ia tidak boleh bersikap
sombong dalam berinteraksi dengan sesamanya dan
beranggapan bahwa ia lebih baik dari mereka.
2. Menjauhkan Diri dari Sifat Takabur dan Merasa Besar Diri
Hendaknya ia tidak
takabur, sombong dan lupa diri. Ia harus sederhana dalam
berjalan dengan cara sedang dalam
melangkah dan tidak terburu-buru, karena
bagaimanapun ia sombong dan takabur ia tidak bisa
mempengaruhi bumi yang ia berjalan
diatasnya.
3. Tidak Mengganggu Orang Lain dengan Suara Keras
Ia tidak boleh
berteriak atau mengeluarkan suara-suara yang tidak enak didengar
yang hanya mengganggu manusia, baik
suaranya sendiri maupun suara dari barang elektronika atau
kendaraan bermotor. Larangan ini khususnya berlaku di
tempat- tempat yang penghuninya
memerlukan istirahat dan ketenangan lebih, seperti
rumah sakit dan sekolah. Wasiat ini
menyamakan suara-suara seperti itu dengan suara
keledai.
B. Rumah dan Pengaruhnya terhadap Pendidikan
Rumah keluarga Muslim
adalah benteng utama tempat anak-anak dibesarkan melalui pendidikan
Islam. Yang dimaksud dengan keluarga Muslim adalah keluarga yang
mendasarkan aktivitasnya pada pembentukan keluarga yang sesuai dengan
syariat Islam. Berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunah, kita dapat mengatakan
bahwa tujuan terpenting dari pembentukan keluarga adalah hal-hal
berikut[iv]:
Pertama,
mendirikan syariat Allah dalam segala permasalahan rumah tangga.
Artinya, tujuan berkeluarga adalah mendirikan rumah tangga muslim yang
mendasarkan kehidupannya pada perwujudan penghambaan kepada Allah swt.
Kedua, mewujudkan ketentraman dan ketenangan psikologis, Allah swt. berfirman:
هُوَ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ
وَاحِدَةٍ وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا فَلَمَّا
تَغَشَّاهَا حَمَلَتْ حَمْلاً خَفِيفًا فَمَرَّتْ بِهِ فَلَمَّآ أَثْقَلَتْ
دَعَوَا اللهَ رَبَّهُمَا لَئِنْ ءَاتَيْتَنَا صَالِحًا لَنَكُونَنَّ مِنَ
الشَّاكِرِينَ
189. Dialah yang
menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia menciptakan
isterinya, agar Dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya,
isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah Dia merasa
ringan (Beberapa waktu). kemudian tatkala Dia merasa berat, keduanya
(suami-isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata:
“Sesungguhnya jika Engkau memberi Kami anak yang saleh, tentulah Kami
terraasuk orang-orang yang bersyukur”. (Q.S. Al-A’raf:189)
Jika suami-istri bersatu diatas landasan
kasih sayang dan ketentraman psikologis yang interaktif, anak-anak akan
tumbuh dalam suasana bahagia, percaya diri, tentram, kasih sayang, serta
jauh dari kekacauan, kesulitan, dan penyakit batin yang melemahkan
kepribadian anak.
Ketiga,
mewujudkan sunnah Rasulullah saw. dengan melahirkan anak-anak saleh
sehingga umat manusia merasa bangga dengan kehadiran kita seperti yang
disabdakan Rasulullah saw. ini:
تنـــاكحـــوا تنــاســـلوا تكثــروا فإنّى مبــاه بـكم الأمم يوم القـــــيامة
“Menikahlah, berketurunanlah, niscaya
kamu menjadi banyak karena aku akan merasa bangga olehmu di hadapan
umat lain pada hari kiamat.”
Hadist diatas mengisyaratkan
kewajiban rumah tangga muslim dalam mendidik putra-putrinya melalui
pendidikan yang dapat mewujudkan tujuan Islam dan itu terpatri dalam
jiwa mereka. Kebanggaan akan umat ini hanya terletak dari lahirnya
keturunan yang saleh. Tanggung jawab itu terletak di atas pundak para
orang tua sehingga anak-anak terhindar dari kerugian, keburukan, dan api
neraka yang senantiasa menantikan manusia yang jauh dari Allah swt.
Allah swt. telah mengisyaratkan hal itu dalam firmannya:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا قُوا
أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ
عَلَيْهَا مَلآئِكَةٌ غِلاَظٌ شِدَادُُ لاَّيَعْصُونَ اللهَ مَآأَمَرَهُمْ
وَيَفْعَلُونَ مَايُؤْمَرُونَ
6. Hai orang-orang
yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang
bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat
yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang
diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan.(Q.S. At-Tahriim:6)
Keempat,
memenuhi kebutuhan cinta-kasih anak-anak. Keluarga, terutama orang tua,
bertanggung jawab untuk memberikan kasih sayang kepada anak-anaknya,
karena kasih sayang merupakan landasan terpenting dalam pertumbuhan dan
perkembangan psikologis dan sosial anak.
Kelima, menjaga
fitrah anak, agar anak tidak melakukan penyimpangan-penyimpangan. Dalam
konsepsi Islam, keluarga adalah penanggung jawab utama terpeliharanya
fitrah anak. Dengan demikian, penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan
anak-anak lebih disebabkan oleh ketidakwaspadaan orang tua atau pendidik
terhadap perkembangan anak.
Allah SWT berfirman,
قَالَ رَبِّ إِنِّي وَهَنَ الْعَظْمُ
مِنِّي وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْبًا وَلَمْ أَكُن بِدُعَآئِكَ رَبِّ
شَقِيًّا {4} وَإِنِّي خِفْتُ الْمَوَالِيَ مِن وَرَآءِي وَكَانَتِ
امْرَأَتِي عَاقِرًا فَهَبْ لِي مِن لَّدُنكَ وَلِيًّا {5} يَرِثُنِي
وَيَرِثُ مِنْ ءَالِ يَعْقُوبَ وَاجْعَلْهُ رَبِّ رَضِيًّا {6}
4. Ia berkata “Ya
Tuhanku, Sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi
uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, Ya
Tuhanku.
5. Dan Sesungguhnya
aku khawatir terhadap mawaliku[898] sepeninggalku, sedang isteriku
adalah seorang yang mandul, Maka anugerahilah aku dari sisi Engkau
seorang putera,
6. Yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya’qub; dan Jadikanlah ia, Ya Tuhanku, seorang yang diridhai.” (Q.S. Maryam: 4-6)
[898] Yang dimaksud
oleh Zakaria dengan mawali ialah orang-orang yang akan mengendalikan dan
melanjutkan urusannya sepeninggalnya.Yang dikhawatirkan Zakaria ialah
kalau mereka tidak dapat melaksanakan urusan itu dengan baik, karena
tidak seorangpun diantara mereka yang dapat dipercayainva, oleh sebab
itu Dia meminta dianugerahi seorang anak.
Ayat ini menggambarkan
kerinduan Nabi Zakaria as. untuk mendapatkan keturunan walaupun usia
beliau sudah lanjut dan istrinya mandul. Kerinduan Nabi Zakaria akan
anak tidak didorong untuk menghindari pupusnya garis keturunan,
melainkan keinginan kuatnya agar nilai-nilai perjuangan yang dimiliki
keluarganya dilanjutkan oleh anaknya.
Sikap yang sama juga tercermin pada diri
Nabi Ibrahim as dan nabi-nabi lainnya. Hal ini bisa dilihat pada firman
Allah Swt berikut ini, “(Ibrahim berkata), ‘ Hai anak-anakku!
Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu
mati kecuali dalam memeluk agama Islam’. Adakah kamu hadir ketika
Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada
anak-anaknya, ‘ Apa yang kamu sembah sepeninggalku?’ Mereka menjawab,
‘Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail
dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh
kepada-Nya’,” (QS Al-Baqarah [2]: 132-133).
Dalam ayat lain Allah Swt berfirman, “Hai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari siksa
neraka (perbuatan yang akan mencelakakan) yang bahan bakarnya adalah
manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras,
yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada
mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (Q.S. At-Tahriim: 132).
Juga firma-Nya dalam surat Thaha ayat 132, “Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya,” (Q.S. Thaha: 6).
Ayat di atas menceritakan bahwa para
Nabi Allah selalu berwasiat kepada anak keturunanya tentang siapa yang
akan mereka sembah setelah mereka meninggal dunia. Ini memberikan
pelajaran berharga bahwa keluarga mempuyai posisi yang sangat strategis
dan menentukan dalam upaya pembentukan karakter sebuah generasi.
Generasi yang baik pada umumnya lahir dari keluarga yang baik.
Sebaliknya, dari keluarga yang rusak tidak banyak diharapkan munculnya
generasi yang memiliki watak dan kepribadian yang baik dan bertanggung
jawab pula.
Dalam membangun keluarga sebagai salah
satu institusi pendidikan yang kuat dan mendasar, peran kedua orang tua
sangat menentukan. Yaitu, terutama menjadi contoh dan suri teladan bagi
anak-anaknya. Bahasa teladan dan amal perbuatan ternyata jauh lebih
efektif daripada bahasa lisan serta suruhan yang bersifat verbal.
Anak-anak melihat apa yang dilakukan, bukan semata-mata mendengar apa
yang diperintahkan.
Dan terlebih lagi, akan sangat berbahaya
bagi pembentukan karakter anak apabila selalu terjadi kontadiksi antara
perkataan dengan perbuatan. Karena itu, keluarga adalah lembaga
pendidikan pertama dan utama dalam membangun dan membentuk kepribadian
anak. Baik buruknya akhlak anak di masa dewasa sangat ditentukan
pendidikan dalam keluarga.
BAB III
Penutup
Tidak diragukan lagi bahwa peran
keluarga berada pada posisi yang paling depan di antara pihak-pihak yang
berpengaruh. Di atas pundak kedua orang tua terletak tanggung jawab
pendidikan yang benar, meluruskan akidah, dan menanamkan nilai moral
dalam benak anak-anak.
Tentu saja di antara tuntutan hal itu
adalah lurusnya akidah kedua orang tua dan pelaksanaan mereka akan
syiar-syiar agama secara benar, ini adalah poin asasi dan esensial yang
harus diingat. Karena orang yang tidak memiliki sesuatu tidak mungkin
memberikannya pada orang lain (faaqidus syai’ laa yu’thihi).
Sesuai dengan tanggung jawab yang diemban
orang tua dalam menanamkan keutamaan dan sifat-sifat yang terpuji pada
diri generasi muda, maka demikian pula mereka menanggung beban tanggung
jawab mengawasi dan mengevaluasi. Itu adalah proses lain yang lebih
urgen. Dalam hal ini Allah swt. berfirman,
“Perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (Q.S. Thaha; 132)
Wallahu a’lamu bis shawab.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahannya, 1418 H. Madinah: Mujamma’ Al-Malik Fahd Li Thiba’at Al-Mush- Haf Asy-Syarif Madinatul Munawwarah.
An-Nahlawi, Abdurrahman, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat, 2004, Jakarta: Gema Insani Press.
Ash-Sha’idi, Abdul Hakam, Menuju Keluarga Sakinah, 2005, Jakarta: Akbar Media Eka Sarana
Musthafa, Ibnu, Keluarga Islam Menyongsong Abad 21, 2003, Bandung: Mizan Media Utama.
Nata, Abuddin, Filsafat Pendidikan Islam (Edisi Baru), 2005, Ciputat: Gaya Media Pratama
Zuhaily, Wahbah, At-Tafsir Al-Munir Fi Al-‘Aqidah Wa Al-Syari’ah Wa Al-Manhaj Mujallad Al- Haadi ‘Asyr, 2003, Damaskus: Darul Fikr.
http://sunatullah.com
[i] Ibid, hl. 85-86
[ii] Ibid, hl. 93
[iii] Abdul Hakam Ash-Sha’idi, Menuju Keluarga Sakinah, (Jakarta: Media Eka Sarana, 2005), hl. 185
[iv] Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), hl. 139-145.