I.
PENDAHULUAN
Filsafat merupakan kegiatan olah fikir
yang sangat mendalam terhadap suatu persoalan kecil yang dianggap penting oleh
seseorang, yang mungkin dianggap sebagai hal yang tidak penting oleh orang lain
dan mungkin tidak dapat memberikan kontribusi secara langsung dalam kehidupan
seseorang. Dalam tahap perkembangannya, filsafat sering mencapai pasang surut
sesuai masanya. Ada kalanya filsafat mendapatkan tempat yang cukup tinggi di
suatu peradaban masyarakat, namun ada kalanya pula filsafat diabaikan, tidak dianggap
keberadaannya, bahkan sampai mati sama sekali, dan dapat kembali muncul berkat
perjuangan dan pemikiran para filsuf yang berperan sangat besar untuk
perkembangan filsafat tersebut. Dalam perkembangannya, ada banyak tokoh yang
mengikuti suatu aliran filsafat tertentu serta ide yang dicetuskannya, dan
sebagian tokoh dan idenya tersebut akan dipaparkan dalam makalah ini.
II.
ALIRAN
FILSAFAT, TOKOH DAN IDENYA
1
Filsafat
pada Masa Yunani Kuno.
Pada
masa Yunani Kuno, perkembangan filsafat diibaratkan bagai gunung-gunung dan
mata air. Filsafat (akal) mendapatkan tempat yang sangat tinggi dan mengalahkan
agama. Ada beberapa tokoh filsafat yang muncul pada masa ini, diantaranya
adalah Parmenides dan Heraclitos. Parmenides berfilsafat dalam bentuk aphorisme yaitu kalimat-kalimat pendek yang harus
ditafsirkan lebih jauh. Di dalam tulisannya, dia mengajarkan dua ajaran yang
disebut jalan kebenaran (the way of truth) dan jalan pendapat (the way of opinion).
Dalam pengajarannya tentang jalan kebenaran mengenai konsep “ada”
(being), Parmenides mengajarkan “yang ada itu ada” (what is, is).
“Yang ada” merupakan yang tetap,
tidak terbagi, dan sempurna seperti lingkaran. Maka, “yang ada” itu tidak
mungkin “yang tidak ada”, karena “yang tidak ada” itu tidak dapat dipikirkan
dan dikatakan. Dengan begitu, “yang tidak ada” itu tidak ada.
Ketika “yang tidak ada” itu tidak ada, maka konsekuensinya, “yang menjadi” itu pun tidak ada, karena “yang menjadi” itu terjadi dari “yang ada” ke “yang tidak ada”, kemudian “yang menjadi”. Akan tetapi “yang tidak ada” itu tidak ada, karena tidak dapat dipikirkan. Jelaslah, “yang menjadi”, karena memiliki aspek “tidak ada”, itu tidak ada. Maka perubahan dari “yang ada” menjadi “yang menjadi” itu tidak akan pernah terjadi. Maka perubahan itu tidak ada.
Ketika “yang tidak ada” itu tidak ada, maka konsekuensinya, “yang menjadi” itu pun tidak ada, karena “yang menjadi” itu terjadi dari “yang ada” ke “yang tidak ada”, kemudian “yang menjadi”. Akan tetapi “yang tidak ada” itu tidak ada, karena tidak dapat dipikirkan. Jelaslah, “yang menjadi”, karena memiliki aspek “tidak ada”, itu tidak ada. Maka perubahan dari “yang ada” menjadi “yang menjadi” itu tidak akan pernah terjadi. Maka perubahan itu tidak ada.
Dalam pengajarannya tentang jalan pendapat, Parmenides mengajarkan
konsep doxa (pendapat umum) dan aletheia (kebenaran). Doxa adalah kebiasaan dan pandangan
umum yang kita dengar dan dapatkan dengan begitu saja, sedangkan aletheia bersumber pada akal budi
semata. Dalam bersikap, dia mengajarkan agar berpikir sendiri dan menemukan
kebenaran itu sendiri, serta tidak boleh percaya pada gagasan-gagasan umum yang
kebenarannya tidak pasti. Menurutnya, kebenaran hanya dapat diperoleh melalui
akal budi semata. Dengan akal budi hendaklah kita menjadi penguji dan hakim
segala sesuatu, memperoleh pengetahuan yang murni dan sejati, yang mampu
menangkap “yang ada”, yang bersifat tetap, dan tidak berubah di balik
pengetahuan indera yang menipu. Parmenides mengajarkan pentingnya berpikir dan
mengambil sikap tegas terhadap apa yang diyakini oleh umum. Keyakinan umum
tidak selalu benar. Oleh karena itu, kita harus melihat realitas dengan
menggunakan akal budi secara langsung.
Berbeda dengan Parmenides, Heraclitos justru menyatakan bahwa
segala sesuatu itu terus bergerak dan berubah, dan tidak hanya diam. Dia
memandang api bersifat dinamis, yang perlu diberikan umpan berupa bahan bakar
agar menghasilkan suatu perubahan yang menakjubkan, yaitu berupa cahaya. Selain
api, dia juga tertarik pada pertentangan dan kesatuan, misalnya pada laut. Satu
sisi laut dapat menyelamatkan, namun di sisi lain laut juga dapat menghancurkan
kehidupan. Pernyataan Heraclitos yang paling terkenal adalah tentang sungai,
yaitu “stepping into a river”. Dari ide sungai ini, kemudian muncul slogan yang
selalu dikaitkan dengan pemikiran Herakleitos, yaitu panta rhei:
segala sesuatu mengalir (“everything flows”). Dengan menggunakan
perumpamaan sungai, dia ingin kita memahami bahwa segala sesuatu mengalir
seperti air dan mengalami perubahan yang terus menerus (flux).
2
Filsafat
Socrates
Pada
masa Yunani Kuno, akal mendapatkan tempat yang paling tinggi mengalahkan agama
dan segalanya, sehingga manusia pada zaman tersebut hidup tanpa suatu pegangan
apapun. Hal ini dapat terbukti dari:
a. Kekacauan
kebenaran, karena tidak ada ukuran umum tentang suatu nilai kebenaran.
b. Semua
teori sains diragukan dan semua akidah dan kaidah agama dicurigai..
c. Banyak
muncul “pembela” kebenaran yang menjadi guru filsafat, filosof dan hakim
sehingga kekacauan semakin meluas.
Pada
masa yang sangat kacau tersebut, tampillah Socrates
sebagai pembela kebenaran yang sebenarnya. Beliau membawa misi menghentikan
pemikiran sofis bahwa semua kebenaran bersifat relative, yaitu dengan cara
meyakinkan orang Athena terutama para filosof dan sofis bahwa tidak semua
kebenaran bersifat relative. ada kebenaran yang umum, yaitu kebenaran yang
dapat diterima oleh semua orang, yang disebut “Pengertian Umum”, yang merupakan penemuan terpenting dari Socrates.
Setelah orang dapat diyakinkan bahwa ada kebenran yang umum, tidak terlalu
sulit untuk mengajak orang kembali ke agamanya. Namun pengajaranSocrates harus
dibayar mahal dengan hukuman mati meminum racun, karena putusan pengadilan yang
dihakimi oleh orang sofis.
3
Filsafat
pada sekitar Tahun 0 Masehi
Sepeninggal
Socrates, pemikirannya masih tetap bekerja. Pada tahun 0 Masehi, perkembangan
Filsafat juga diibaratkan sebagai gunung-gunung dan mata air. Ada dua tokoh
penting pada masa ini, yaitu Plato dan Aristoteles.
Plato,
murid sekaligus teman dari Socrates memperkuat pendapat dari gurunya tersebut.
Dia mengatakan bahwa memang ada kebenaran umum, yang dinamakan “idea”, dan
“idea” itu telah ada sebelum manusia ada, ia ada di dalam “idea”.
Aristoteles
juga memperkuat pendapat gurunya tersebut. Dia menulis buku, yang mengupas
tentang kepalsuan logika orang-orang sofis. Dia sependapat bahwa pengertian
umum yang kebenarannya berlaku umum memang ada, dan dinamakan sebagai
“definisi”. Pada masa ini, akal dan hati, rasio dan iman, filsafat dan agama
mendapatkan kedudukan yang sama tinggi.
4
Jaman
Kegelapan, Dominasi Gereja (Abad 12 s/d 13 Masehi)
Pada
masa ini, perkembangan filsafat diibaratkan tertutup atau mati. Tepat di
pengujung zaman helenisme menjelang neo-Platonisme, filsafat benar-benar kalah.
Selanjutnya pemikiran memasuki jaman kegelapan, dimana agama menang mutlak
sedangkan akal kalah total. Hal ini terlihat jelas dari pemikiran Plotinus,
Augustinus, dan Anselmus. Menurut Plotinus,
Tuhan bukan untuk dipahami, tetapi untuk dirasakan, sehingga tujuan filsafat
adalah bersatu dengan Tuhan. Filsafat rasional dan ilmu sains tidak penting.
Orang yang masih menghidupkan akal harus dimusuhi, bahkan dibunuh. Bahkan tahun
529, Kaisar Justiniaus mengeluarkan
Undang-undang yang melarang ajaran filsafat apapun di Athena. Ciri khas
filsafat pada masa ini adalah rumusan terkenal yang dikemukakan oleh Saint Anselmus yaitu Credo ut intelligan, yang artinya iman
lebih dulu, setelah itu baru mengerti.
5
Abad
15 (Jaman Pengerahan)
rumusan
yang dikemukakan oleh Saint Anselmus yaitu Credo
ut intelligan, tidak akan merugikan perkembangan filsafat jika wahyu yang
dijadikan acuan adalah wahyu yang tidak berlawanan dengan akal logis. Pada masa
pertengahan ini, agama Kristen bisa dikatakan tidak bersumber pada kitab suci,
namun lebih bersumber pada penafsiran kitab suci oleh para saint (orang suci).
Keyakinan yang begitu besar pada penafsiran tersebut dapat dikatakan sebagai
kelemahan filsafat Kristen pada masa ini, karena pada dasarnya kebenaran
penafsiran bersifat relative. Selain itu, kekurangjelasan perbatasan antara
sains, filsafat dan iman mengakibatkan sering terjadi bentrokan. Copernicus dan Galileo memiliki pemikiran yang berbeda dari para tokoh gereja,
sehingga kedua tokoh tersebut dihukum. Sebenarnya, pendapat dua ilmuwan
tersebut tidak berlawanan dengan kitab suci, namun berbeda dari pendapat tokoh
gereja yang mengatasnamakan kitab suci. Jika berlawanan dengan kitab suci,
berarti kitab suci itu yang salah karena bukti-bukti menunjukkan bahwa kedua
ilmuwan tersebut benar adanya.
Copernicus adalah orang pertama yang
mengemukakan bahwa selain Bumi berputar mengelilingi sumbunya sekali putaran
dalam sehari, bumi juga bergerak mengelilingi matahari sekali dalam setahun. Sesuai
dengan pendapat Copernicus, maka bumi di
samping berputar mengelilingi sumbunya sekali sehari, juga berputar
mengelilingi matahari atau yang disebut dengan revolusi. Bumi berevolusi dapat
dibuktikan dengan percobaan-percobaan yang dilakukan oleh para ahli, antara
lain: adanya aberasi (sesatan cahaya) dan Parallaxis.
Selama
berada di Italia, Copernicus sudah berkenalan dengan ide-ide filosof Yunani
Aristarchus dari Samos (abad ke-13 SM), yang berpendapat bahwa bumi dan
planit-planit lain berputar mengitari matahari. Copernicus jadi yakin atas
kebenaran hipotesa "heliocentris". Copernicus memerlukan waktu
bertahun-tahun untuk melakukan pengamatan dan perhitungan cermat dalam untuk
penyusunan buku besarnya De Revolutionibus Orbium Coelestium (Tentang Revolusi
Bulatan Benda-benda Langit), yang melukiskan teorinya secara terperinci dan
mengedepankan pembuktian-pembuktiannya.
6
Abad
16 (Awal Jaman Modern)
Pada
awal jaman modern ini, perkembangan filsafat diibartkan sebagai sungai-sungai.
Ada beberapa tokoh yang memberikan sumbangan sejarah pada masa ini, antara lain
Rene Descartes dan David Hume. Descartes
bertujuan untuk melepaskan filsafat dari kekangan gereja, yang terlihat dari
argument cogito yang mengatakan bahwa
“badanku boleh saja diragukan adanya, namun aku yang berfikir tidak dapat
diragukan”. Setelah Descartes berhasil, dan ternyata tidak mendapatkan reaksi
keras dari gereja, maka kembali bermunculan para filosof. Akal yang telah
mendapat kekangan selama 1500 tahun itu, pada masa ini menang lagi.
Namun sofisme kembali terulang, dan dinamakan sebagai sofisme modern, dan
kembali menyatakan bahwa kebenaran bersifat relative.
Adanya
tiga aliran besar yaitu rasionalisme, idealism dan empirisme mampu menjadikan
filsafat modern membingungkan orang modern. Rasionalisme dan idealisme
mengatakan bahwa roh yang hakikat, sedangkan empirisme mengatakan bahwa benda
lah yang hakikat, dan roh tidak ada. Akibatnya, sains sangat dicurigai,
terutama pada masa Hume, dan agama
juga diragukan. Keadaan ini lebih parah daripada zaman Socrates.
7
Abad
17 s/d 18 (Jaman Modern)
Pada
masa ini, filsafat diibaratkan sebagai muara sungai. Masa ini merupakan
kelanjutan dari awal jaman modern. Sains masih dicurigai dan agama juga masih
diragukan. Keadaan inilah yang dihadapi oleh Immanuel Kant. Cara Kant dalam menyelesaikan masalah ini pada
dasarnya sama dengan pada masa Socrates. Ia menyatakan bahwa akal dan hati
(iman) memiliki daerah masing-masing yang tidak saling tercampur satu dengan
yang lainnya. Jika akal memasuki wilayah hati, maka akan hilang dalam
paralogisme. Kant mengatakan bahwa akal dan agama keduanya sama-sama dapat
dipegang dan sama-sama diperlukan. Skeptic
terhadap sains sangat berbahaya. Begitu pula keraguan pada agama, juga
sangat berbahaya.
8
Abad
18 s/d 19 (Jaman Pos Modern)
Pada
masa ini, perkembangan filsafat diibaratkan sebagai pantai-pantai. Tokoh utama
pada masa ini adalah Auguste Comte, yang merupakan tokoh aliran positivisme
yang paling terkenal. Kaum positivis percaya bahwa masyarakat merupakan bagian
dari alam dimana metode-metode penelitian empiris dapat dipergunakan untuk
menemukan hukum-hukum sosial kemasyarakatan. Pendiri filsafat positivis yang
sesungguhnya adalah Henry de Saint Simon yang menjadi guru sekaligus teman
diskusi Comte. Menurut Simon,
untuk memahami sejarah orang harus mencari hubungan sebab akibat, hukum-hukum
yang menguasai proses perubahan.
Comte
menuangkan gagasan positivisnya dalam bukunya the Course of Positivie Philosoph, yang
merupakan sebuah ensiklopedi mengenai evolusi filosofis dari semua ilmu dan
merupakan suatu pernyataan yang sistematis yang semuanya itu tewujud dalam
tahap akhir perkembangan. Perkembangan ini diletakkan dalam hubungan statika
dan dinamika, dimana statika yang dimaksud adalah kaitan organis antara
gejala-gejala, sedangkan dinamika adalah urutan gejala-gejala. Bagi Comte, untuk
menciptakan masyarakat yang adil, diperlukan metode positif yang kepastiannya tidak
dapat digugat. Metode positif
ini mempunyai 4 ciri, yaitu metode ini diarahkan pada fakta-fakta, diarahkan
pada perbaikan terus menerus dari syarat-syarat hidup, berusaha ke arah
kepastian, dan berusaha ke arah kecermatan.
Metode
positif juga mempunyai sarana-sarana bantu yaitu pengamatan, perbandingan, eksperimen,
yang biasa
dilakukan dalam ilmu-ilmu alam, serta metode historis khusus berlaku bagi
masyarakat yaitu untuk mengungkapkan hukum-hukum yang menguasai perkembangan
gagasan. Menurut Comte, perkembangan pemikiran manusia berlangsung dalam 3
zaman, yaitu; zaman teologis, zaman metafisis dan zaman ilmiah atau zaman
positif.
1) Pada
zaman teologis , manusia percaya bahwa dibelakang gejala-gejala alam terdapat
kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala tersebut.
2)
Zaman metafisis atau tahap transisi. Tahapan
ini menurut Comte hanya modifikasi dari tahapan sebelumnya. Penekanannya pada
tahap ini, yaitu monoteisme yang dapat menerangkan gejala-gejala alam dengan
jawaban-jawaban yang spekulatif, bukan dari analisa empirik.
3) Zaman
positif, adalah tahapan yang terakhir dari pemikiran manusia dan
perkembangannya, pada tahap ini gejala alam diterangkan oleh akal budi
berdasarkan hukum-hukumnya yang dapat ditinjau, diuji dan dibuktikan atas cara
empiris. Penerangan ini menghasilkan pengetahuan yang instrumental.
9
Pos
Pos Modern (Power Now)
Pada masa ini, perkembangan
filsafat diibaratkan sebagai laut dangkal. Ada beberapa pandangan yang sangat
berpengaruh pada masa ini, antara lain paham Pragmatism, Utilitarian, Capitalis
dan Hedonisme.
a.
Pragmatism
Konsep pragmatisme mula-mula dikemukan oleh Charles Sandre Peirce pada
tahun 1839. Dalam konsep tersebut ia menyatakan bahwa, sesuatu dikatakan
berpengaruh bila memang memuat hasil yang praktis. Pada kesempatan yang lain ia
juga menyatakan bahwa, pragmatisme sebenarnya
bukan suatu filsafat, bukan metafisika, dan bukan teori kebenaran, melainkan
suatu teknik untuk membantu manusia dalam memecahkan masalah. Dari kedua
pernyataan itu tampaknya Pierce ingin menegaskan bahwa pragmatisme lebih
cenderung pada tataran ilmu praktis untuk membantu menyelesaikan persoalan yang
dihadapi manusia. Jika tidak menimbulkan konskuensi yang praktis maka tidak ada
makna yang dikandungnya, sehingga muncul semboyan bahwa, “Apa yang tidak
mengakibatkan perbedaan tidak mengandung makna”.
Sebagian penganut pragmatisme yang lain
mengatakan bahwa, suatu ide atau tanggapan dianggap benar, jika ide atau
tanggapan tersebut menghasilkan sesuatu, yakni jalan yang dapat membawa manusia
ke arah penyelesaian masalah secara tepat (berhasil). Bahkan, Budi Darma mengatakan
bahwa, masa depan itu tidak ada, masa lalu juga tidak ada, yang ada adalah masa
sekarang maka berjuanglah untuk saat ini. Inti dari peryataan tersebut adalah,
kebenaran pragmatik merupakan kebenaran yang bersifat fungsional, berguna atau
praktis. Segala sesuatu dianggap benar jika ada konsekuensi yang bersifat
manfaat bagi hidup manusia.
b.
Utilitarian
Utilitarianisme merupakan bagian
dari etika filsafat yang berkembang sebagai kritik atas dominasi hukum alam.
Teori utilitarianisme di kembangkan oleh Jeremy Bentham dan muridnya, John
Stuart Mill. Utilitarianisme disebut sebagai teori kebahagiaan terbesar (the
greatest happines theory), karena utilitiarianisme dalam konsepsi
Bentham berprinsip “the greatest
happiness of the greatest number”, yang menjadi landasan moral utama kaum
utilitarianisme. Kemunculan utilitarianisme dilatarbelakangi oleh keinginan
besar untuk melepaskan diri dari belenggu doktrin hukum alam. David Hume dan
Helvetius, dan Beccaria adalah arsitek utama doktrin Utilitarianisme tersebut.
Namun, Jemery Bethamlah yang berhasil merumuskannya dalam sebuah teori formal
tentang refomasi social.
Menurut faham utilitarisme,
kebahagiaan tercapai jika ia memiliki kesenangan dan bebas dari kesusahan.
Suatu perbuatan dapat dinilai baik atau buruk sejauh dapat meningkatkan atau
mengurangi kebahagiaan sebanyak mungkin orang. Prinsip kegunaan harus diterapkan
secara kuantitatif, karena kualitas kesenangan selalu sama sedangkan aspek
kuantitasnya dapat berbeda-beda. Berkat konsep fundamentalnya tersebut, Jeremy
Betham diakui sebagai pemimpin kaum Radikal Filosofis yang sangat berpengaruh.
nemun teori yang di usung Betham tersebut mempunyai banyak kelemahan, terutama
tentang moralitas, sehingga memperoleh celaan dari para pengkritik. Salah paham
tersebut kemudian berusaha diluruskan kembali oleh pengikutnya, yaitu Jhon
Stuart Mill
c.
Capitalis
Dalam
perkembangan filsafat kapitalis,
tokoh yang sangat berperan adalah Karl
Marx yang menyatakan beberapa hal penting terkait dengan kapitalisme. Pemikiran
Kapitalisme adalah sebuah sistem ekonomi yang filsafat sosial
dan politiknya didasarkan kepada azas pengembangan hak milik pribadi, dan nasionalisme sekuler. Cirri utamanya adalah mencari
keuntungan dengan berbagai cara dan sarana (kecuali yang jelas dilarang negara
karena merusak masyarakat), mendewakan hak milik pribadi dengan membuka jalan
selebar-lebarnya agar tiap orang meningkatkan kekayaan dan memeliharanya, dan membatasi
campur tangan Negara dalam kehidupan ekonomi.
d.
Hedonisme
Salah satu aliran
aksiolgis dalam filsafat adalah Hedonisme.
Hedonisme erat kaitannya dengan Epicurus, karena dia yang menggagas hedonisme. Fokus
pemikirannya adalah, bahwa tujuan hidup manusia adalah mencapai kenyamanan batin, dan
kebebasan dari rasa sakit. Seluruh keinginan manusia adalah fitrah, dan layak untuk di puaskan.
Intinya, karena manusia akan mati, maka manusia harus senang. Epicurus
memiliki pandangan tentang agama dan kesenangan atau kenikmatan, yaitu:
1. Pendapat Epicurus tentang agama dan
Tuhan
“…Atau Tuhan mau menghapuskan
keburukan, tetapi tidak mampu. Atau sebenarnya ia mampu, tetapi tidak mau. Atau
ia tidak mampu dan tidak mau. Jikalau ia mau, tetapi tidak mampu, ia lemah….
Jikalau ia mampu, tetapi tidak mau, dia jahat…. Tetapi, jikalau Tuhan mampu dan
mau menghapuskan kejahatan, … lantas bagaimana kejahatan ada di dunia?”
2. Pandangan Epicurus tentang kenikmatan:
“Epicurus merekomendasikan kepada kita
untuk mengejar kesenangan dan kebahagiaan, namun harus diingat, dia tidak
pernah mengajarkan bahwa kita harus menjalani kehidupan dengan mementingkan
diri sendiri (selfish) yang berdampak kepada terhalangnya kesenangan dan
kebahagiaan untuk orang lain.
10
Kehidupan
Praktis (Kontekstual)
Pada
masa ini, perkembangan filsafat diibaratkan sebagai Laut Dalam. Orang telah
melakukan telaah secara mendalam tentang segala sesuatu yang menarik di benak
atau fikirannya. Manusia berfilsafat sesuai pemikiran masing-masing, dan dapat
merepresentasikan suatu hal dengan sangat berbeda antara satu dengan yang
lainnya, sesuai dengan sudut pandangan masing-masing. Berfilsafat dilakukan
sesuai konteks tertentu, yang tidak harus merupakan hal besar, namun hal
tersebut menjadi pokok perhatian bagi seseorang. jadi, objek berfilsafat antara
satu orang dengan orang yang lainnya sangat mungkin berbeda-beda.
III.
KESIMPULAN
Dalam perkembangannya, filsafat seringkali mengalami
pasang dan surut pada setiap periode. Masa pasang dan surut dalam tahap
perkembangan filsafat tersebut membuktikan bahwa filsafat sebagai kegiatan olah
fikir, tidak hanya tiba-tiba ada sebagai hasil pemikiran manusia sekarang,
namun itu merupakan hasil perkembangan olah fikir sejak zaman dahulu. Dari
hasil pemahaman perkembangan pasang surut filsafat sejak jaman yunani kuno
hingga jaman sekarang, dapat ditarik kesimpulan secara umum bahwa keberadaan
filsafat (akal) dan hati (agama) harus saling beriringan dan tidak saling
mengalahkan.kejayaan filsafat tanpa agama tidak akan membawa kehidupan yang
seimbang dalam masyarakat. Hal ini terbukti pada jaman yunani kuno dan awal
jaman modern. Demikian pula kemenangan agama tanpa filsafat juga tidak akan
membawa kedamaian. Hal ini terbukti pada masa abad ke 12/ 13 Masehi, dimana
kekuasaan didominasi kekuatan gereja. Jadi, peran filsafat dan agama secara
berimbang sangat diperlukan untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat yang
seimbang dan damai.