Ketika membahas filsafat hukum,
hal pertama yang harus kita lakukan adalah memahami dan mendefinisikan
hukum secara jelas dan benar. Itu karena kaitan antara hukum dengan
filsafat hukum sangat erat. Kehadiran hukum ikut menghadirkan filsafat
hukum didalamnya.
Pada awalnya, hukum muncul sebagai kaidah yang mengatur hidup bersama. Zaman dahulu sistem masyarakat tidak sekompleks masa kini sehingga sistem hukumnya barangkali sederhana. Namun, bagaimanapun bentuknya, esensi hukum akan tetaplah sama. Begitupun dengan filsafat hukum.
Hukum yang dimaksud dalam hal ini adalah hukum buatan manusia yang berada dalam suatu instansi yang sah. Hal ini perlu ditegaskan karena seringkali orang menyamaratakan antara hukum dengan moral. Hal ini akan berbeda jika dibahas dari kacamata filsafat hukum.
Theo Huijbers dalam karnyanya Filsafat Hukum mengatakan bahwa kaidah moral biasanya disampaikan secara turun-temurun melalui agama dan budayanya. Tidak diatur bagaimana pelaksanaan dan hukuman bagi yang melanggar.
Wajah hukum dari zaman ke zaman memang memiliki bentuk yang berbeda. Pada zaman klasik, hukum biasanya dianggap sebagai cerminan dari aturan alam (natural of law). Dengan demikian, manusia merupakan objek bagi alam semesta ini dalam menjalankan hukumnya. Oleh karena itu, pandangan materialisme determinis sangat berkembang. Hal itu turut diamini oleh filsafat hukum.
Di abad pertengahan, hukum merupakan peraturan yang memancarkan ketentuan Illahi. Segala hal yang ada di dunia ini sudah diatur oleh Allah sehingga manusia tidak perlu lagi membuat hukum, hanya tinggal menjalankannya. Sementara itu, di zaman modern, hukum seringkali disamakan dengan negara atau aparatus. Walaupun berbeda, hukum harus tetap memegang prinsip yang bersifat idiil dan etis.
Definisi hukum yang cukup baik dikemukakan oleh C.S.T. Kansil. Menurutnya, hukum merupakan peraturan-peraturan (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dan karena itu harus ditaati oleh masyarakat.
Dalam hal ini, hukum yang ditekankan adalah mengenai hukum yuridis. Hukum yang mempunyai arti yuridis yang sungguh-sungguh adalah hukum yang ditentukan oleh pemerintah suatu negara, yakni undang-undang. Hukum bersifat yuridis ini sedikit banyak juga hadir dalam kajian filsafat hukum.
Filsafat hakikatnya adalah sebuah ilmu. Seperti ilmu yang umumnya memiliki banyak cabang, filsfata pun demikian. Filsafat hukum adalah salah satu cabang filsafat yang lahir dari pemikiran tokoh-tokoh filsafat terdahulu.
Pengertian filsafat sendiri adalah ilmu filosofi. Sehingga, berdasarkan pengertian tersebut, sudah dapat ditafsirkan apa itu pengertian dari filsafat hukum. Filsafat hukum filsafat mengenai tingkah laku atau etika seseorang yang memelajari hakikat ilmu hukum. Secara sederhana, filsafat hukum adalah memelajari hukum atau memandang hukum secara filosofi. Objek dari filsafat hukum tentu saja adalah hukum. Hukum yang dipelajari dalam filsafat hukum biasanya dikaji secara mendalam hingga inti permasalahan atau inti dari ilmu hukum.
Jika dilihat dari pengertian seperti itu, dapat disimpulkan jika sebenarnya ilmu hukum dan filsafat hukum itu tidak sejalan. Jika hukum memelajari sesuatu hal yang konkret dan dapat secara langsung diamati oleh indera manusia, maka filsafat hukum lebih memelajari hukum secara hakikat.
Jika ilmu hukum lebih konkret daripada filsafat hukum, lalu apa manfaat memelajari filsafat hukum? Filsafat hukum berbeda dengan jenis filsafat apapun. Filsafat hukum mengajarkan manusia untuk berpikir secara luas mengenai pendapat serta pendirian orang lain. Filsafat hukum juga akan membiasakan kita untuk berpikir secara kritis dan radikal. Filsafat hukum, juga bersifat spekulatif, sehingga kita bisa mengemukakan pendapat secara bebas mengenai hal yang berkenaan dengan hukum.
Sebagai suatu aliran filsafat hukum, eksistensialisme berangkat dari manusia sebagai subjek yang independen. Oleh karena itulah, kaum eksistensialis memandang hukum sebagai produk yang tidak dapat dilepaskan dari keberadaan manusia.
Eksistensialisme sendiri muncul dari kritik terhadap pemikiran absolutisme Hegelian. Pandangan Hegel yang begitu idealistik menyebabkan manusia sebagai individu tidak diberikan tempat di dunia ini. Pandangan Hegel yang seperti itu cukup erat kaitannya dengan filsafat hukum.
Menurut Huijbers, pertama-tama manusia dimengerti secara objektif-abstrak, yakni dalam definisi yang terkenal: animal rationale. Kemudian, manusia dimengerti dalam konsep subjektif-abstrak dalam: cogito ergo sum, tekanan terletak dalam kehidupan batin. Dalam filsafat eksistensi, manusia dimengerti secara subjek-konkret: manusia adalah subjek di dunia.
Salah seorang ahli hukum yang menganut faham eksistensialis adalah Hans Maihofer. Pandangan tentang eksistensialisnya dipengaruhi oleh filsuf Jerman, Martin Heideger. Menurut Heideger manusia dilukiskan sebagai suatu subjek individual yang harus mengembangkan diri secara objektif. Filsafat hukum memang bersifat memengaruhi, jika ada satu pemikiran yang dianggap cocok, maka biasanya pemikiran atau paham tersebut akan banyak mengilhami para pemikir lainnya.
Oleh karena itu, hukum ditanggapi sebagai penghambat kebebasan individual dalam mengembangkan dirinya. Namun, jika manusia dibiarkan untuk menjalankan kehidupannya seperti yang ia inginkan, akan terjadi kekacauan. Tiap individu akan melaksanakan kebebasannya dan akan terjadi benturan antar kebebasan.
Oleh karena itu, menurut Maihofer harus dicari unsur lain dalam kehidupan manusia yang membuka jalan bagi suatu pandangan positif terhadap hukum. Ia juga mengatakan bahwa perkembangan hidup bersama itu merupakan syarat mutlak bagi perkembangan eksistensi tiap-tiap pribadi. Pemikiran untuk mencari jalan lain agar hukum dipandang sebagai satu hal yang positif juga menjadi pemikiran yang dipelajari dalam filsafat hukum.
Tesis utama yang disampaikan Maihofer berkenaan dengan hukum antara lain: pertama, hukum mengatur hak milik individu yang dalam hukum positif disebut hak benda zakenrecht, kedua, hukum mengatur hubungan satu individu dengan individu lain. Hal-hal tersebut secara langsung juga ikut membahasa filsafat hukum didalamnya. Yang pertama bersumber dari asumsi bahwa manusia ada sebagai sesuatu yang unggul karena kebebasan individualnya, dan yang kedua karena kodratnya sebagai mahkluk sosial dalam hubungannya dengan sesama manusia.
Pandangan Maihofer mengenai manusia sebagai eksistensi individu jauh-jauh hari sudah dipakai oleh para filsuf dalam membangun konsep hukum dan negara. Individu dijadikan sebagai titik tolak berpikir tentang hukum dan negara sehingga keberadaan negara tidak lain untuk individu yang ada di dalam masyarakat, atau lebih tepatnya "negara ada untuk masyarakat, bukan masyarakat untuk negara".
John Locke misalnya, menjadikan eksistensi manusia sebagai dasar bagi pemikiran tentang negara alamiah. Menurut Locke, pada dasarnya manusia sudah dibimbing nalar dan bersifat baik. Manusia hidup bersama sesuai pertimbangan nalar mereka, tanpa adanya pihak-pihak yang beroposisi di antara mereka di dunia, dan masing-masing berwenang untuk saling menilai sesamannya -itulah gambaran negara alami-.
Walaupun sama bermula dari pandangan tentang eksistensi manusia, menurut Hobbes, pada dasarnya manusia adalah jahat sehingga perlu adanya suatu aturan atau negara yang bisa mengendalikannya. Pada akhirnya, Hobbes menghendaki negara yang keras dan totaliter atau yang lebih dikenal negara Leviathan. Bagaimanapun keadaannya, filsafat hukum nyatanya tetap "eksis" mendampingi berkembangnya ilmu hukum. Meskipun ilmu hukum lebih memelajari hal-hal yang konkret, dasar-dasar pemikiran tentang hukum tetap saja hanya akan diperoleh ketika kita memelajari filsafat hukum.
Filsafat Hukum dan Kajian Tentang Hukum
A. Sejarah Hukum
Pada awalnya, hukum muncul sebagai kaidah yang mengatur hidup bersama. Zaman dahulu sistem masyarakat tidak sekompleks masa kini sehingga sistem hukumnya barangkali sederhana. Namun, bagaimanapun bentuknya, esensi hukum akan tetaplah sama. Begitupun dengan filsafat hukum.
Hukum yang dimaksud dalam hal ini adalah hukum buatan manusia yang berada dalam suatu instansi yang sah. Hal ini perlu ditegaskan karena seringkali orang menyamaratakan antara hukum dengan moral. Hal ini akan berbeda jika dibahas dari kacamata filsafat hukum.
Theo Huijbers dalam karnyanya Filsafat Hukum mengatakan bahwa kaidah moral biasanya disampaikan secara turun-temurun melalui agama dan budayanya. Tidak diatur bagaimana pelaksanaan dan hukuman bagi yang melanggar.
B. Bentuk Hukum
Wajah hukum dari zaman ke zaman memang memiliki bentuk yang berbeda. Pada zaman klasik, hukum biasanya dianggap sebagai cerminan dari aturan alam (natural of law). Dengan demikian, manusia merupakan objek bagi alam semesta ini dalam menjalankan hukumnya. Oleh karena itu, pandangan materialisme determinis sangat berkembang. Hal itu turut diamini oleh filsafat hukum.
Di abad pertengahan, hukum merupakan peraturan yang memancarkan ketentuan Illahi. Segala hal yang ada di dunia ini sudah diatur oleh Allah sehingga manusia tidak perlu lagi membuat hukum, hanya tinggal menjalankannya. Sementara itu, di zaman modern, hukum seringkali disamakan dengan negara atau aparatus. Walaupun berbeda, hukum harus tetap memegang prinsip yang bersifat idiil dan etis.
C. Definisi Hukum
Definisi hukum yang cukup baik dikemukakan oleh C.S.T. Kansil. Menurutnya, hukum merupakan peraturan-peraturan (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dan karena itu harus ditaati oleh masyarakat.
Dalam hal ini, hukum yang ditekankan adalah mengenai hukum yuridis. Hukum yang mempunyai arti yuridis yang sungguh-sungguh adalah hukum yang ditentukan oleh pemerintah suatu negara, yakni undang-undang. Hukum bersifat yuridis ini sedikit banyak juga hadir dalam kajian filsafat hukum.
Mengenal Filsafat Hukum
Filsafat hakikatnya adalah sebuah ilmu. Seperti ilmu yang umumnya memiliki banyak cabang, filsfata pun demikian. Filsafat hukum adalah salah satu cabang filsafat yang lahir dari pemikiran tokoh-tokoh filsafat terdahulu.
Pengertian filsafat sendiri adalah ilmu filosofi. Sehingga, berdasarkan pengertian tersebut, sudah dapat ditafsirkan apa itu pengertian dari filsafat hukum. Filsafat hukum filsafat mengenai tingkah laku atau etika seseorang yang memelajari hakikat ilmu hukum. Secara sederhana, filsafat hukum adalah memelajari hukum atau memandang hukum secara filosofi. Objek dari filsafat hukum tentu saja adalah hukum. Hukum yang dipelajari dalam filsafat hukum biasanya dikaji secara mendalam hingga inti permasalahan atau inti dari ilmu hukum.
Jika dilihat dari pengertian seperti itu, dapat disimpulkan jika sebenarnya ilmu hukum dan filsafat hukum itu tidak sejalan. Jika hukum memelajari sesuatu hal yang konkret dan dapat secara langsung diamati oleh indera manusia, maka filsafat hukum lebih memelajari hukum secara hakikat.
Jika ilmu hukum lebih konkret daripada filsafat hukum, lalu apa manfaat memelajari filsafat hukum? Filsafat hukum berbeda dengan jenis filsafat apapun. Filsafat hukum mengajarkan manusia untuk berpikir secara luas mengenai pendapat serta pendirian orang lain. Filsafat hukum juga akan membiasakan kita untuk berpikir secara kritis dan radikal. Filsafat hukum, juga bersifat spekulatif, sehingga kita bisa mengemukakan pendapat secara bebas mengenai hal yang berkenaan dengan hukum.
Eksistensialisme dan Filsafat Hukum
Sebagai suatu aliran filsafat hukum, eksistensialisme berangkat dari manusia sebagai subjek yang independen. Oleh karena itulah, kaum eksistensialis memandang hukum sebagai produk yang tidak dapat dilepaskan dari keberadaan manusia.
Eksistensialisme sendiri muncul dari kritik terhadap pemikiran absolutisme Hegelian. Pandangan Hegel yang begitu idealistik menyebabkan manusia sebagai individu tidak diberikan tempat di dunia ini. Pandangan Hegel yang seperti itu cukup erat kaitannya dengan filsafat hukum.
Menurut Huijbers, pertama-tama manusia dimengerti secara objektif-abstrak, yakni dalam definisi yang terkenal: animal rationale. Kemudian, manusia dimengerti dalam konsep subjektif-abstrak dalam: cogito ergo sum, tekanan terletak dalam kehidupan batin. Dalam filsafat eksistensi, manusia dimengerti secara subjek-konkret: manusia adalah subjek di dunia.
Salah seorang ahli hukum yang menganut faham eksistensialis adalah Hans Maihofer. Pandangan tentang eksistensialisnya dipengaruhi oleh filsuf Jerman, Martin Heideger. Menurut Heideger manusia dilukiskan sebagai suatu subjek individual yang harus mengembangkan diri secara objektif. Filsafat hukum memang bersifat memengaruhi, jika ada satu pemikiran yang dianggap cocok, maka biasanya pemikiran atau paham tersebut akan banyak mengilhami para pemikir lainnya.
Oleh karena itu, hukum ditanggapi sebagai penghambat kebebasan individual dalam mengembangkan dirinya. Namun, jika manusia dibiarkan untuk menjalankan kehidupannya seperti yang ia inginkan, akan terjadi kekacauan. Tiap individu akan melaksanakan kebebasannya dan akan terjadi benturan antar kebebasan.
Oleh karena itu, menurut Maihofer harus dicari unsur lain dalam kehidupan manusia yang membuka jalan bagi suatu pandangan positif terhadap hukum. Ia juga mengatakan bahwa perkembangan hidup bersama itu merupakan syarat mutlak bagi perkembangan eksistensi tiap-tiap pribadi. Pemikiran untuk mencari jalan lain agar hukum dipandang sebagai satu hal yang positif juga menjadi pemikiran yang dipelajari dalam filsafat hukum.
Tesis utama yang disampaikan Maihofer berkenaan dengan hukum antara lain: pertama, hukum mengatur hak milik individu yang dalam hukum positif disebut hak benda zakenrecht, kedua, hukum mengatur hubungan satu individu dengan individu lain. Hal-hal tersebut secara langsung juga ikut membahasa filsafat hukum didalamnya. Yang pertama bersumber dari asumsi bahwa manusia ada sebagai sesuatu yang unggul karena kebebasan individualnya, dan yang kedua karena kodratnya sebagai mahkluk sosial dalam hubungannya dengan sesama manusia.
Pandangan Maihofer mengenai manusia sebagai eksistensi individu jauh-jauh hari sudah dipakai oleh para filsuf dalam membangun konsep hukum dan negara. Individu dijadikan sebagai titik tolak berpikir tentang hukum dan negara sehingga keberadaan negara tidak lain untuk individu yang ada di dalam masyarakat, atau lebih tepatnya "negara ada untuk masyarakat, bukan masyarakat untuk negara".
John Locke misalnya, menjadikan eksistensi manusia sebagai dasar bagi pemikiran tentang negara alamiah. Menurut Locke, pada dasarnya manusia sudah dibimbing nalar dan bersifat baik. Manusia hidup bersama sesuai pertimbangan nalar mereka, tanpa adanya pihak-pihak yang beroposisi di antara mereka di dunia, dan masing-masing berwenang untuk saling menilai sesamannya -itulah gambaran negara alami-.
Walaupun sama bermula dari pandangan tentang eksistensi manusia, menurut Hobbes, pada dasarnya manusia adalah jahat sehingga perlu adanya suatu aturan atau negara yang bisa mengendalikannya. Pada akhirnya, Hobbes menghendaki negara yang keras dan totaliter atau yang lebih dikenal negara Leviathan. Bagaimanapun keadaannya, filsafat hukum nyatanya tetap "eksis" mendampingi berkembangnya ilmu hukum. Meskipun ilmu hukum lebih memelajari hal-hal yang konkret, dasar-dasar pemikiran tentang hukum tetap saja hanya akan diperoleh ketika kita memelajari filsafat hukum.