Pengertian
psikologi agama.
Psikologi menurut George A.Miller adalah ilmu yang
berusaha menguraikan, meramalkan,dan mengendalikan peristiwa mental dan tingkah
laku.[1]
Agama menurut J.H.Leuba adalah agama sebagai cara
bertingkah laku, sebagai sistem kepercayaan atau sebagai emosi yang bercorak khusus.[2]
Psikologi agama adalah cabang dari psikologi yang
meneliti dan menelaah kehidupan beragama pada seseorang dan mempelajari
seberapa besar pengaruh keyakinan agama itu dalam sikap dan tingkah laku serta
keadaan hidup pada umumnya. Dengan ungkapan lain psikologi agama adalah ilmu
yang meneliti pengaruh agama terhadap sikap dan tingkah laku seseorang atau
mekanisme yang bekerja dalam diri seseorang, karena cara seseorang berfikir,bersikap,berkreasi
dan bertingkah laku yang tidak dapat dipisahkan dari keyakinannya,karena
keyakinan itu masuk dalam konstruksi kepribadiannya.[3]
Perkembangan
Jiwa Keagamaan Pada Anak dan Remaja
Pada umumnya,pembahasan tentang
perkembangan jiwa terbagi menjadi tiga bagian: masa anak,masa remaja dan masa
dewasa.
1.
Agama Pada Masa Anak- Anak
Menurut penelitian Ernest Harms
perkembangan agama anak-anak itu melalui beberapa fase (tingkatan), yaitu:
a.
The fairy tale stage (tingkat
dongeng)
Tingkatan ini dimulai pada anak
yang berusia 3-6 tahun. Pada tingkatan ini konsep mengenai Tuhan lebih banyak
dipengaruhi oleh fantasi dan emosi.
Pada tingkat perkembangan ini anak
menghayati konsep ke-Tuhanan sesuai dengan tingkat perkembangan intelektualnya.
b.
The realistic stage (tingkat
kenyataan)
Tingkat ini dimulai sejak anak
masuk sekolah dasar hingga ke usia adolense. Pada masa ini, ide ke-Tuhanan anak
sudah mencerminkan konsep-konsep yang berdasarkan kepada kenyataan (realitas).
konsep ini timbul melalui lembaga-lembaga keagamaan dan pengajaran agama dari
orang dewasa lainnya.
c.
The individual stage (tingkat
individu)
Pada tingkat ini anak telah
memiliki kepekaan emosi yang paling tinggi sejalan dengan perkembangan usia
mereka.
Sebagai makhluk ciptaan Tuhan,
sebenarnya potensi agama sudah ada pada setiap manusia sejak ia dilahirkan.
Potensi ini berupa dorongan untuk mengabdi kepada Sang Pencipta. Dalam
terminologi islam, dorongan ini dikenal dengan hidayat al-diniyyat,
berupa benih-benih keberagamaan yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia. Dengan
adanya potensi bawaan ini manusia pada hakikatnya adalah makhluk beragama.
Namun keberagamaan tersebut memerlukan bimbingan agar dapat tumbuh dan berkembang
secara benar.[4]
Jika mengikuti periodesasi yang
dirumuskan Elizabeth B. Hurlock, dalam masa ini terdiri dari tiga tahapan:
1. 0 – 2 tahun (masa vital)
2. 2 – 6 tahun (masa kanak-
kanak)
3. 6 – 12 tahun (masa sekolah)
Anak mengenal Tuhan pertama kali
melalui bahasa dari kata- kata orang yang ada dalam lingkungannya, yang pada
awalnya diterima secara acuh. Tuhan bagi anak pada permulaan merupakan nama
sesuatu yang asing dan tidak dikenalnya serta diragukan kebaikan niatnya. Tidak
adanya perhatian terhadap tuhan pada tahap pertama ini dikarenakan ia belum
mempunyai pengalaman yang akan membawanya kesana, baik pengalaman yang
menyenangkan maupun yang menyusahkan. Namun, setelah ia menyaksikan reaksi
orang- orang disekelilingnya yang disertai oleh emosi atau perasaan tertentu
yang makin lama makin meluas, maka mulailah perhatiannya terhadap kata tuhan
itu tumbuh.
Perasaan si anak terhadap orang
tuanya sebenarnya sangat kompleks. Ia merupakan campuran dari bermacam- macam
emosi dan dorongan yang saling bertentangan. Menjelang usia 3 tahun yaitu umur
dimana hubungan dengan ibunya tidak lagi terbatas pada kebutuhan akan bantuan
fisik, akan tetapi meningkat lagi pada hubungan emosi dimana ibu menjadi objek
yang dicintai dan butuh akan kasih sayangnya, bahkan mengandung rasa permusuhan
bercampur bangga, butuh, takut dan cinta padanya sekaligus.
Menurut Zakiah Daradjat, sebelum
usia 7 tahun perasaan anak terhadap tuhan pada dasarnya negative. Ia berusaha
menerima pemikiran tentang kebesaran dan kemuliaan tuhan. Sedang gambaran
mereka tentang Tuhan sesuai dengan emosinya. Kepercayaan yang terus menerus
tentang Tuhan, tempat dan bentuknya bukanlah karena rasa ingin tahunya, tapi
didorong oleh perasaan takut dan ingin rasa aman, kecuali jika orang tua anak
mendidik anak supaya mengenal sifat Tuhan yang menyenangkan. Namun pada pada
masa kedua (27 tahun keatas) perasaan si anak terhadap Tuhan berganti positif
(cinta dan hormat) dan hubungannya dipenuhi oleh rasa percaya dan merasa aman[5].
Perkembangan Jiwa Beragama Pada Remaja
Dalam peta psikologi remaja
terdapat tiga bagian:
a. Fase Pueral
Pada masa ini remaja tidak mau
dikatakan anak- anak, tetapi juga tidak bersedia dikatakan dewasa. Pada fase
pertama ini merasa tidak tenang.
b. Fase Negativ
Fase kedua ini hanya berlangsung beberapa bulan saja, yang ditandai oleh
sikap ragu- ragu, murung, suka melamun dan sebagainya.
c. Fase Pubertas
Masa ini yang dinamakan dengan
Masa Adolesen[6].
Sebenarnya masa remaja adalah masa peralihan, yang ditempuh oleh seseorang
dari kanak-kanak menuju dewasa.[7]
Secara umum masa remaja merupakan masa pancaroba, penuh dengan kegelisahan
dan kebingungan. Keadaan tersebut lebih disebabkan oleh perkembangan dan
pertumbuhan yang sangat pesat berlangsungnya, terutama dalam hal fisik,
perubahan dalam pergaulan sosial, perkembangan intelektual adanya perhatian dan
dorongan pada lawan jenis. Pada masa ini, remaja juga mengalami
permasalahn-permasalahan yang khas, seperti dorongan seksual,pekerjaan,
hubungan dengan orang tua,pergaulan sosial,emosi,pertumbuhan pribadi dan
sosial,problem sosial,pengggunaan waktu luang,keuangan,kesehatan,dan agama[8].
Dan sejalan dengan perkembangan jasmani dan rohaninya, maka agama pada para
remaja turut dipengaruhi perkembangan itu. Maksudnya penghayatan para remaja
terhadap ajaran agama dan tindak keagamaan yang tampak pada pada para remaja
banyak berkaitan dengan faktor perkembangan tersebut[9].
Sifat-sifat Agama Pada Anak dan Remaja
1.
Sifat-Sifat Agama pada Anak
Sifat agama
pada anak-anak tumbuh megikuti pola ideas konsep on outbrority. Ide keagamaan
pada anak hampir sepenuhnya autoritarius maksudnya, konsep keagamaan pada diri
mereka dipengaruhi oleh faktor dari luar diri mereka. Mereka telah melihat dan
mengikuti apa yang diajarkan oleh orang dewasa dan orang tua mereka tentang sesuatu
yang berhubungan dengan agama. Ketaatan pada ajaran agama merupakan kebiasaan
yang menjadi milik mereka yang mereka pelajari dari para orang tua maupun guru
mereka[10].
Berdasarkan hal itu maka bentuk dan sifat agama pada diri anak dapat dibagi
atas:
1.
Unreflective (kurang mendalam/ tanpa kritik)
Kebenaran yang mereka terima tidak begitu mendalam, cukup sekadarnya saja,
dan mereka merasa puas dengan keterangan yang kadang-kadang kurang masuk akal.
Menurut peneilitian, pikiran kritis baru muncul pada anak berusia 12 tahun,
sejalan dengan perkembangan moral. Diusia ini pun anak yang kurang cerdas pun
menunjukkan pemikiran yang kreatif. Namun demikian, sebelum usia 12 tahun pada
anak yang mempunyai ketajaman berpikir akan menimbang pemikiran yang mereka
terima dari orang lain.
2.
Egosentris
Sifat egosentris ini berdasarkan hasil penelitian piaget tentang bahasa
pada anak berusia 3-7 tahun. Dalam hal ini, berbicara bagi anak-anak tidak
mempunyai arti seperti orang dewasa. Bagi anak, bahasa tidaklah menyangkut orang
lain, tetapi lebih merupakan “monolog” dan “monolog kolektif”, yaitu merupakan
bahasa egosentris, bukan sebagai sarana untuk mengomunikasikan gagasan dan
informasi, lebih-lebih merupakan pernyataan atau penegasan diri dihadapan orang
lain.
3.
Anthromorphis
Konsep anak mengenai ketuhanan pada umumnya berasal dari pengalamannya.
Dikala ia berhubungan dengan orang lain, pertanyaan anak mengenai “bagaimana”
dan “mengapa” biasanya mencermikan usaha mereka untuk menghubungkan penjelasan
religius yang abstrak dengan dunia pengalaman mereka yang bersifat subjektif
dan konkret.
4.
Verbalis dan ritualis
Kehidupan
agama pada anak sebagian besar tumbuh mula-mula secara verbal (ucapan). Mereka
menghafal secara verbal kalimat keagamaan, selain itu pula
dari amaliah yang mereka laksanakan berdasarkan pengalaman menurut tuntunan
yang diajarkan kepada mereka.
5.
Imitatif
Bahwa tindak
keagamaan yang dilakukan oleh anak-anak pada dasarnya diperoleh dari meniru.
Berdoa dan salat misalnya, mereka laksanakan berdasarkan hasil melihat
perbuatan dilingkungan, dalam segala hal anak merupakan peniru yang ulung.
Sifat peniru ini merupakan modal yang positif. Menurut penelitian Gillesfi dan
young bahwa anak yang tidak dapat pendidikan agama dalam keluarga tidak akan
dapat diharapkan menjadi pemilik keagamaan yang kekal.
6.
Rasa heran
Rasa heran
dan kagum merupakan tanda dan sifat keagamaan yang terakhir pada anak. Maka
rasa kagum pada anak ini belum bersifat kritis dan kreatif. Mereka hanya kagum
pada keindahan lahiriyah saja. Rasa kagum mereka dapat disalurkan melalui
cerita-cerita yang menimbulkan rasa takjub[11].
2. Sikap Remaja Dalam Beragama
Terdapat empat sikap remaja dalam
beragama, yaitu:
1. Percaya ikut- ikutan
Percaya ikut- ikutan ini biasanya
dihasilkan oleh didikan agama secara sederhana yang didapat dari keluarga dan
lingkungannya. Namun demikian ini biasanya hanya terjadi pada masa remaja awal
(usia 13-16 tahun). Setelah itu biasanya berkembang kepada cara yang lebih
kritis dan sadar sesuai dengan perkembangan psikisnya.
2. Percaya dengan kesadaran
Semangat keagamaan dimulai dengan
melihat kembali tentang masalah- masalah keagamaan yang mereka miliki sejak
kecil. Mereka ingin menjalankan agama sebagai suatu lapangan yang baru untuk membuktikan
pribadinya, karena ia tidak mau lagi beragama secara ikut- ikutan saja.
Biasanya semangat agama tersebut terjadi pada usia 17 tahun atau 18 tahun.
Semangat agama tersebut mempunyai dua bentuk:
a. Dalam bentuk positif
semangat agama yang positif,
yaitu berusaha melihat agama dengan pandangan kritis, tidak mau lagi menerima
hal- hal yang tidak masuk akal. Mereka ingin memurnikan dan membebaskan agama
dari bid’ah dan khurafat, dari kekakuan dan kekolotan.
b. Dalam bentuk negatif
Semangat keagamaan dalam bentuk
kedua ini akan menjadi bentuk kegiatan yang berbentuk khurafi, yaitu
kecenderungan remaja untuk mengambil pengaruh dari luar kedalam masalah-
masalah keagamaan, seperti bid’ah, khurafat dan kepercayaan- kepercayaan
lainnya.
3. Percaya, tetapi agak ragu- ragu
Keraguan kepercayaan remaja
terhadap agamanya dapat dibagi menjadi dua:
a. Keraguan disebabkan
kegoncangan jiwa dan terjadinya proses perubahan dalam pribadinya. Hal ini
merupakan kewajaran.
b. Keraguan disebabkan adanya
kontradiksi atas kenyataan yang dilihatnya dengan apa yang diyakininya, atau
dengan pengetahuan yang dimiliki.
4. Tidak percaya atau cenderung
ateis
Perkembangan kearah tidak percaya
pada tuhan sebenarnya mempunyai akar atau sumber dari masa kecil. Apabila
seorang anak merasa tertekan oleh kekuasaan atau kezaliman orang tua, maka ia
telah memendam sesuatu tantangan terhadap kekuasaan orang tua, selanjutnya
terhadap kekuasaan apa pun, termasuk kekuasaan Tuhan[12].
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberagamaan Anak dan
Remaja
Robert H. Thouless mengemukakan empat faktor keberagamaan yang dimasukkan
dalam kelompok utama, yaitu:
·
Pengaruh- pengaruh sosial
·
Berbagai pengalaman
·
Kebutuhan
·
Proses pemikiran
Faktor sosial mencakup semua
pengaruh sosial dalam perkembangan sikap keberagamaan, yaitu: pendidikan orang
tua, tradisi- tradisi sosial dan tekanan- tekanan lingkungan sosial untuk
menyesuaikan diri dengan berbagai pendapat dan sikap yang disepakati oleh
lingkungan.
Faktor lain yang dianggap sebagai
sumber keyakinan agama adalah kebutuhan- kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi
secara sempurna, sehingga mengakibatkan terasa adanya kebutuhan akan kepuasan
agama. Kebutuhan- kebutuhan tersebut dapat dikelompokkan dalam empat bagian,
antara lain kebutuhan akan keselamatan, kebutuhan akan cinta, kebutuhan untuk
memperoleh harga diri dan kebutuhan yang timbul karena adanya kematian.
Faktor terakhir adalah pemikiran
yang agaknya relevan untuk masa remaja, karena disadari bahwa masa remaja mulai
kritis dalam menyikapi soal- soal keagamaan, terutama bagi mereka yang
mempunyai keyakinan secara sadar dan bersikap terbuka. Mereka akan mengkritik
guru agama mereka yang tidak rasional dalam menjelaskan ajaran- ajaran agama
islam, khususnya bagi remaja yang selalu ingin tahu dengan pertanyaan-
pertanyaan kritisnya. Meski demikian, sikap kritis remaja juga tidak menafikkan
faktor- faktor lainnya, seperti faktor berbagai pengalaman[13].
[2] Sururin, ilmu Jiwa Agama,
(Jakarta:PT.Grafindo Jaya,cet ,2004),hlm.4
[4]
Prof. Dr. H. Jalaludin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT Grafindo Persada, cet. 2009),
Hlm.66-69.
[5]
Sururin ,op.cit.,hlm.47-50
[6]
Ibid,hlm.64
[7] Zakiyah
Daradjat,op.cit.,hlm.69
[8]
Sururin,opcit.,hlm.65
[9]
Djalaluddin,op.cit,hlm.74
[10]
Sururin
[11]
Sururin,op.cit.,hlm.58-61
[12]
Ibid,hlm.72-78
[13]
Ibid,hlm.79-82