A. Pengertian Takhrij
Secara etimologis takhrij (تَخْرِيجُ) berasal dari kata kharaja (خَرَّج) yang berarti tampak atau jelas. Seperti : (خَرَّجَتِ السَّمَاءُ خُرُوْجًا) artinya langit tampak cerah setelah mendung.[1]
Secara
terminologis takhrij menurut ahli hadits berarti bagaimana seseorang
menyebutkan dalam kitab karangannya suatu hadits dengan sanadnya
sendiri. Jadi, ketika dikatakan : (هَذَالحدِيْتُ اَخْرجَهُ فُلاَنٌ)
maka itu artinya pengarang menyebut suatu hadits berikut sanadnya pada
kitab yang dikarangnya. Para muhaditsin berpendapat bahwa kata ikhraj (اِخْرَجَ) memiliki arti sama dengan takhrij (تَخْرِجَ).
Menurut Al- Qosimi bahwa kebanyakan para ualam setelah membawa suatu
hadits mengatakan, “Hadits ini dikeluarkan oleh si Fulan,” Maksudnya dia
(Fulan) menyebutkan haditsnya itu. Dalam pengertian ini si Fulan
disebut mukharrij (pelaku takhrij), yaitu orang yang menyebutkan riwayat
Hadits seperti Imam Bukhori.
Terhadap kalimat الْكِتَا بُ خَرَّ جَهُ فُلاَ نٌ وَا سْتَخْرَ جَهُ هَذَ para
ahli berpendapat bahwa maksudnya adalah si Fulan menyebutkan
hadits-hadits dengan sanad-sanad miliknya sendiri, dan dalam sanadnya
bertemu dengan perawi dalam sanad pengarang kitab sebelumnya, baik pada
pihak guru pengarang pertama atau di atasnya lagi.
Menurut pendapat yang lain lagi “takhrij” dalam kallimat خَرَّجَ اَحَا دِيْقَ كِتَابِ كَذَ
berarti mengembalikan suatu hadits kepada ulama yang menyebutkannya
dalam suatu hadits kepada ulama yang menyebutkannya dalam suatu ki9tab
dengan memberikan penjelasan krtiteria-kriteria hukumnya. Pendapat
demikian diantaranya menurut Al-Manawi. Lengkapnya pendapat beliau
adalah menistbatkan hadits-hadits kepada para ulama hadits yang
menyebutkan dalam kitab-kitab mereka, baik yang berupa jawami, sunad
atau musnad-musnad. Pendapat Al-Manawi ini mengharuskan adanya
kejelasan-kejelasan kriteria hukum hadits-hadits.[2]
Takhrij hadits sesuai dengan urutan-urutan pengertiannya tersebut berkembang melalui frase-frase sebagai berikut:
1. Penyebutan hadits-hadits dengan sanadnya masing-masing. Terkadang pengarang menitikberatkan pada masalah sanad atau matannya.
2. Penyebutan
hadits-hadits dengan sanad milik sendiri yang berbeda dengan suatu
kitab terdahulunya. Sanad-sanad pada kitab kedua ini menambah redaksi
matan.
Setelah
sunnah-sunnah Nabi terkumpul dalam kitab besar, pengertian takhrij
berarti penitsbatan beserta penjelasan kriteria-kriteria hukum
hadits-hadits tersebut.
B. Tujuan Takhrij
Takhrij bertujuan menunjukkan sumber hadits-hadits dan menerangkan ditolak atau diterimanya hadits-hadits tersebut.[3]
C. Manfaat Takhrij
Diantara manfaat takhrij antara lain yaitu:
1. Takhrij dapat memperkenalkan sumber hadits.
2. Takhrij dapat menambah perbedaan sanad hadits melalui kitab-kitab yang ada.
3. Takhrij dapat memperjelas keadaan sanad.
4. Takhrij memperjelas hukum hadits dengan banyak meriwayatkannya itu.
5. Dengan takhrij kita dapat mengetahui pendapat-pendapat para ulama sekitar hukum hadits.
6. Takhrij dapat memperjelas perawi hadits yang samar.
7. Takhrij dapat memperjelas perawi hadits yang tidak diketahui namanya.
8. Takhrij dapat menafikan pemakaian “An” dalam periwayatan hadits oleh seorang perawi mudallis.
9. Takhrij dapat menghilangkan kemungkinan terjadinya percampuran riwayat.
10. Takhrij dapat membatasi nama perawi yang sebenarnya.
11. Takhrij dapat memperkenalkan periwayatan yang tidak dapat dalam satu sanad.
12. Takhrij dapat memperjelas arti kalimat yang asing yang terdapat dalam satu sanad.
13. Takhrij dapat menghilangkan hukum “syadz” (kesendirian riwayat yang menyalahi riwayat tsiqat) yang terdapat pada suatu hadits.
14. Takhrij dapat membedakan hadits yang mudraj (yang mengalami penyusupan sesuatu) dari yang lainnya.
15. Takhrij dapat mengungkapkan keragu-raguan dan kekeliruan yang dialami oleh seorang perawi.
16. Takhrij dapat mengungkap hal-hal yang terlupakan atau diringkas oleh seorang perawi.
17. Takhrij
dapat membedakan antara proses periwayatan yang dilakukan dengan lafal
dan yang dilakukan dengan ma’na (pengertian) saja.
18. Takhrij dapat menjelaskan sebab-sebab timbulnya hadits.
19. Takhrij dapat menjelaskan masa dan tempat timbulnya hadits.
20. Takhrij dapat mengungkapkan kemungkinan terjadinya kesalahan percetakan dengan melalui perbandingan-perbandingan sanad yang ada.[4]
D. Contoh untuk Memperjelas Kegunaan Takhrij
Bunyi Hadits:
رُوِىَ
عَنِ الْمُعِيْرَةِ بْنِ سُعْبَةَ قَالَ: وَضَاءْتُ النَّبِىَّ سَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى عَزْ وَةِ تَبُوْكَ فَمَسَعَ اَعْلَى
الْخُنَيْنِ وَاَسْفَلَهُمَا
Bila kita menggunakan metode takhrij
maka akan tampak hadits ini diriwayatkan oleh Imam Turmudzi, dan Ibnu
Majah. Setelah ditakhrij pada masing-masing kitab, maka hadits tersebut
lengkapnya berbunyi:
1. Menurut Imam Turmudzi:
حَدَّثَنَااَبُوْالوَلِيْدِ۷ لدِّمَشْقِيُّ
|حَدَثَنَا ألوَلِدُبْنُ مُسْلِمٍ اَخْبَرَنَا ثَوْرُبْنُ يَزِيْدَ عَنْ
رَحَا ءَبْنِ حَيْوَةَ عَنْ كَاتِبِ الْمُغِيْرَةِبْنِ شُعْبَةَ اَنَّ
النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم مَسَحَ اَعْلَى الْخُفِّ
وَاَسْفَلِهِ.
2. Menurut Imam Abu Daud
حَدَّثَنَامُوْسى
بْنُ مَرْوَانَ وَمَحْمُوْدَبْنُ حَا لِدٍ الدِّمَشْقِىُّ الْمَعْنَ قَا
لاَحَدَّثَنَا الْوَلِيْدٌ-قَالَ مَحْمُوْدٌ-قَالَ اَخُبَرَ نَا ثَوْرُبْنُ
يَزِيْدَعَنْ رَحَا ءَبْنِ حَيْوَةَ عَنْ كَا تِبِ الْمُغِيْرَةِبْنِ
شُعْبَةَ عَنِ الْمُغِرَةِبْنِ سُعْبَةَ قَالَ وَضَا ءْتُ النَّبِىَّ اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى غَزْوَةِ تَبُوكَ فَمَسَحَ عَلَى الْخُفَّيْنِ.
3. Menurut Riwayat Imam Ibnu Majah
حَدَّثَنَا
هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ|ثَنَا الْوَلِيْدُبْنُ مُسْلِمٍ, ثَنَا ثَوْرُبْنُ
يَزِيْدَ, عَنْ رَ حَاءَبْنِ حَيْوَةَ, عَنْ وَرَّا دٍ, كَا تِبِ
الْمُغِيْرَةِبْنِ شُعْبَةَ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مَسَحَ هَعْلَى الْخُفِّ وَاَسْفَلِهِ.
Dengan memperbandingkan ketiga riwayat di atas, maka kita dapat mengetahui:
1. Hadits di atas diriwayatkan oleh tiga ulama hadits, yaitu: Imam Turmudzi, Imam Abu Daud, Imam Ibnu Majah.
2. Pada
riwayat Abu Daud terdapat nama perawi yang samar yaitu: Al-Walid
riwayat Turmudzi dan riwayat Ibnu Majah menjelaskan nama yang
sebenarnya, yaitu Al-Walid bin Muslim.
3. Katib
Mughirah tidak diketahui nama yang sebenarnya pada riwayat Abu Daud dan
Turmudzi. Pada riwayat Ibnu Majah katib mughiroh yang dimaksud adalah
Warrad. Menurut Ibnu Hazam, katib mughiroh adalah perawi yang tidak
diketahui namanya. Ini karena Ibnu Hazam, mungkin tidak ingat bahwa ada
riwayat Ibnu Majah yang menjelaskan nama sebenarnya. Warrad diriwayatkan
oleh banyak ulama hadits. Ibnu Hibban mengelompokkannya pada kelompok
tsiqat.
4. Setelah
Turmudzi meriwayatkan hadits ini adalah ma’lul, karena tidak seorangpun
meriwayatkan hadits ini, beliau mengatakan bahwa, hadits ini adalah
ma’lul, karena tidak seorangpun meriwayatkan dari Tsaur bin Yazid selain
Walid bin Muslim. Lalu beliau menanyakannya kepada Abu Zur’ah dan Imam
Bukhori. Keduanya mengatakan, hadits ini tidak sahih, karena Ibnu
Mubarok meriwayatkan dari Tsaur dari Roja’ bin Haywah, beliau berkata:
“Jadi hadits ini mursal, karena mughiroh tidak disebut ini dalam sanad
tersebut.”
5. Setelah Abu Daud meriwayatkan hadits ini beliau berkata: “Yang saya ketahui bahwa Tsaur tidak mendengar hadits ini dari Roja’”
6. Riwayat Abu Daud menjelaskan sejarah timbulnya hadits ini yaitu peperangan Tabuk.”
7. Teks yang terdapat pada susunan riwayat Abu-Daud adalah berbunyi
فَمَسَحَ عْلَى الْخُفَّيْنِ وَاَ سْفَلِهِمَا.
Setelah penulis teliti kembali melalui Sunan Turmudzi dan Sunan Ibnu
Majah, penulis berkesimpulan terjadi kesalahan cetak pada teks Sunan Abu
Daud. Yang tepat adalah berbunyi:
فَمَسَحَ اَعْلَى الْخُفَّيَيْنِ وَاَ سْفَلِهِمَا
Demikian
sebagian kegunaan takhrij dan akan lebih banyak lagi kegunaan tersebut
dengan melakukan komparasi hadits ini dari ketiga riwayat di atas dengan
Sunan Al-Baihaqi dan kitab talkhis al-Habir karangan Ibnu Hajar.[5]
E. Hal yang Mendasar dalam Takhrij
Mentakhrij
matan suatu hadits berarti mengungkapkan perawi hadits tersebut dalam
kitabnya disertai bab dan hal-hal lainnya yang berkaitan dengan kitab
tersebut.
Setelah
mentakhrij suatu hadits hendaknya dapat menjelaskan sekitar hadits
tersebut seluas mungkin, seperti tentang keshahihannya, ketersambungan
sanadnya dan lain-lain. Ini tentunya dengan cara menyambungkan
sanad-sanad yang ada.
Yang
menjadi sasaran pokok mencari hadits adalah materinya. Dan hendaknya
kita tidak terkecohkan oleh perbedaan lafal. Selama ada kesamaan sahabat
dan kesamaan pengertian dalam susunan kalimatnya, tetap dinamakan
hadits memang wajar jika ada perbedaan kata dan matan. Imam Zailai
berkata: “Kewajiban seorang muhadits hanyalah membahas materi hadits dan
meneliti perawi yang megeluarkannya. Adapun perbedaan lafal, tambahan
atau pengurangan tidak banyak mempengaruhi.
Dengan
demikian, dapat kita katakan bahwa takhrij mengenalkan kitab-kitab
induk hadits dengan segala seluk beluk hadits tersebut beserta metode
yang dipakainya.
Tahrij tidaklah terbatas pada matan hadits akan tetapi mencakup :
- Mentahrij matan hadits dari berbagai kitab induk
- Mentahrij sanad-sanad hadits beserta biografi dan penilaian terhadap perawi
- Mentahrij lafal-lafal yang asing
- Mentahrij lokasi kejadian dalam hadits melalui kitab-kitab yang dikarang untuk itu
- Mentahrij nama-nama karangan melalui kitab-kitab yang diperuntukkan bagi bidangnya.[6]
F. Metode-Metode dalam Takhrij
Ada beberapa macam metode takhrij yaitu :
1. Takhrij melalui lafal pertama matan hadits
Penggunaan
metode ini tergantung dari lafal pertama matan hadits. Berarti metode
ini juga mengkondisikasikan hadits-hadits yang lafal pertama dengan
urutan huruf hijriyah. Setelah itu ia melihat huruf pertamanya melalui
kitab-kitab takhrij yang disusun dengan metode ini, demikian pula huruf
yang kedua dan seterusnya. Contoh : مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا
Langkah-langkah untuk dengan metode ini adalah :
a. Lafal pertama dengan melakukannya pada bab (م)
b. Kemudian mencari huruf kedua (nun) setelah (mim)
c. Huruf-huruf selanjutnya adalah ghain (غ) lalu syin (س) serta nun(ن)
d. Dan seterusnya, begitu juga dengan urutan huruf-huruf pada lafal matan.
Kelebihan
dan kekurangan dalam metode ini. Dengan menggunakan metode ini
kemungkinan besar kita dengan cepat menemukan hadits-hadits yang
dimaksud. Hanya saja bila terdapat kelainan lafal pertama tersebut
sedikitpun akan berakibat sulit menemukan hadits.
Ada
beberapa kitab-kitab yang menggunakan metode ini antara lain: kitab
al-Jami’ al-Shaghir, kitab Faidh al-Qadir, kitab al-Fath al-Kabir, dll.[7]
2. Takhrij melalui Kata-kata dalam Matan hadits
Metode
ini tergantung kepada kata-kata yang terdapat dalammatan hadits baik
berupa isim atau fi’il. Para penyusun kitab-kitab takhrij hadits
menitikberatkan peletakan hadits-haditsnya menurut lafal yang asing.
Semakin asing suatu kata, maka pencarian hadits akan lebih mudah dan
efisien. Contoh :
اِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى الله ُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ طَعَامِ الْمُتَبَارِ يَيْنِ اَنْ بُؤْعَلَ
Sekalipun kata-kata yang dipergunakan dalam pencariannya dalam hadits di atas banyak, seperti يُؤْكَلَ, طَعَامِ, نَهى akan tetapi sangat dianjurkan mencarinya melalui kata المُتَبَارِ بَيْنِkarena kata tersebut sangat jarang sekali adanya. Menurut penelitian kata تَبَارى digunakan dalam kitab hadits yang sembilan, hanya dua kali.
Kelebihan metode ini :
- Metode ini mempercepat pencarian hadits-hadits.
- Para
penyusun kitab-kitab takhrij dengan metode ini membatasi
hadits-haditsnya dalam beberapa kitab induk menyebutkan nama kitab, juz,
bab dan halaman.
- Memungkinkan pencarian hadits melalui kata-kata apa saja yang terdapat dalam matan hadits
Kekurangan metode ini :
- Keharusan
memiliki kemampuan bahasa arab beserta perangkat ilmu-ilmunya yang
memadai karena metode ini menuntut untuk mengembalikan setiap kata-kata
kuncinya kepada kata dasarnya.
- Metode
ini tidak menyebutkan perawinya dari kalangan sahabat yang menerima
hadits dari Nabi Saw, mengharuskan kembali pada kitab-kitab aslinya
setelah mentakhrijnya dengan kitab ini.
- Terkadang suatu hadits tidak didapatkan dengan satu kata sehingga orang yang mencarinya harus menggunakan kata-kata yang lain.
Adapun kitab takhrij yang menggunakan metode ini, yaitu : kitab al-Mu’jam al-Mufahras, dll.[8]
3. Takhrij melalui Perawi Hadits Pertama
Metode
takhrij yang ketiga ini berlandaskan pada perawi pertama suatu hadits,
baik dari kalangan sahabat bila sanad haditsnya bersambung kepada Nabi
(mutasil), atau dari kalangan tabi;in bila hadits itu mursal. Sebagai
langkah pertama kita harus mengetahui perawi pertama setiap hadits yang
kita inginkan diantara hadits-hadits yang tertea di bawah perawi
pertamanya itu. Jika sudah ditemukan, maka kita akan mengetahui pula
ulama hadits yang meriwayatkannya.
Kelebihan metode ini antara lain :
- Metode ini memperpendek masa proses takhrij dengan diperkenalkannya ulama hadits yang meriwayatkan beserta kitab-kitabnya.
- Metode
ketiga ini memberikan manfaat yang tidak sedikit, diantaranya
memberikan kesempatan melakukan persanad, danjuga faedah-faedah lainnya
yang disebutkan oleh para penyusun kitab takhrij dengan metode ini.
Kekurangan metode ini antara lain :
- Metode ini dapat digunakan dengan baik tanpa pengetahuan terlebih dahulu perawi pertama hadits yang kita maksud
- Terdapatnya kesulitan-kesulitan mencari hadits diantaranya yang tertea di bawah setiap perawi pertamanya.
Adapun kitab-kitab dengan metode ini, yaitu kitab-kitab al-Athraf, kitab-kitab Musnad.[9]
4. Takhrij Menurut Tema Haidts
Takhrij
denganmetode ini bersandar pada pengenalan teman hadits yang akan kita
takhrij. Kerap kali suatu hadits memiliki teman lebih dari satu. Sikap
kita terhadap hadits seperti ini mencarinya pada tema-teman yang
dikandungnya. Contoh :
بُنِىَ
اْلاِسْلاَمُ عَلَى حَمْسٍ : شَهَادَةِ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّالله ُ
وَاَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ وَاِقَامِ الصَّلاَةِ وَاِيْتَاءِ
الرَّكَاةِ وَصَوْمِ رَمَصَانَ وَحَجِّ الْبَيْتِ لِمَنِ اسْتَطَاعَ
اِلَيْهِ سَبِيْلاً.
Hadits
ini dicantumkan pada kitab iman, tauhid, sholat, zakat, puasa dan haji
untuk itu, kita harus mencarinya dalam tema-teman tersebut.
Kelebihan metode ini, yaitu :
- Metode tema hadis tidak membutuhkan pengetahuan-pengetahuan lain dari luar hadits.
- Metode ini mendidik ketajaman pemahaman hadits pada diri peneliti
- Metode ini juga memperkenalkan pada peneliti maksud hadits yang dicarinya dan hadits yang senada dengannya.
Kekurangan metode ini, yaitu :
- Terkadang kandungan hadits sulit disimpulkan
- Terkadang pula pemahaman peneliti tidak sesuai dengan pemahaman penyusun kitab.[10]
Adapun
kitab-kitab takhrij yang menggunakan metode ini antara lain : kitab
Kanz al-‘Ummai, kitab Bulughul Marom, Kitab Nushub al-Raayah, dll
5. Takhrij berdasarkan Status Hadits[11]
Metode
kelima ini mengetengahkan suatu hal yang baru berkenaan dengan upaya
para ulama yang telah menyusun kumpulan hadits-hadits yang berdasarkan
status hadits. Kitab-kitab sejenis ini sangat membantu pencarian
berdasarkan statusnya, seperti : hadits qudsi, hadits yang sudah
masyhur, hadits mursal, dll.
Kelebihan metode ini, yaitu :
- Dapat
memudahkan proses takhrij, karena sebagian besar hadits-hadits yang
dimuat dalam suatu karya tulis berdasarkan sifat-sifat hadits sangat
sedikit, sehingga tidak memerlukan pemikiran yang lebih rumit.
Kekurangan dalam metode ini, yaitu :
- Hanya metode ini cakupannya sangat terbatas, karena sedikitnya hadits-hadits yang dimuat
Sistematika penulisan dalam metode ini :
Penulis sengaja mempersingkat pembicaraan sekitar metode ini mengingat hadits-hadits sekitar metode ini hanya sedikit.
Adapun kitab yang disusun dengan menggunakan metode ini yaitu kitab hadits mutawatir, seperti اَ ْلاَزْ هَارُالْمُتَنَا ثِرَةُ فِى اْلاَخْيَارِالْمُتَوَاتِرَةِ , karangan Sayuthi. Hadits mursal اَالْمَرَا سِيْل karangan Abu Daud, dll.
G. Mencari Keberadaan hadits dalam Kitab kitab Hadits atas Hadits
اِنَّ مِنَ السَّرَف~ أَنْ تَأْكُلَ كُلَّ مَا اشُّتَهَبْتَ
Setelah
hadits tersebut ditelusuri dengan menggunakan metode takhrij, maka
ditemukan bahwa hadits tersebut tidak ditemukan dalam الحثتب الستة kecuali dalam سنن ابن ماجه )w 209-272 H). selain itu juga ditemukan dalam :
1. Kitab الجوع karya ابن ابى الدليا (w. 281)
2. Kitab المسند karya ابو سعلى الموصلى (w. 307 H)
3. Kitab المدرو مين karya ابن حبان (w. 354 H)
4. Kitab الكامدفى ءالرخد karya ابن بلاى (w. 365 H)
5. Kitab الأفراد karya الدار قطى (w. 385 H)
6. Kitab الفرائد karya المحلصابو طاهر
7. Kitab حليه الأولياء karya ابو نعم الابوعاتى (w. 430 H)
Semuanya melalui jalur sanad:
بقتبة بن الواليد حد ثنا يوسف بن ابى كثير عن نوج بن ذكوان عن الحسن عن انس بن مالك
Sebagaimana terlihat dalam struktur jaringan sanad
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa jalur sanad hadits ini mulai dari بقية بن الليد adalah jalur sanad tunggal (عريب) meskipun perawi yang meriwayatkan dari بقيه بن الوليد banyak, namun hal itu tidak dapat dijadikan dasar untuk meningkatkan kualitas sanad ini, karena perawi yang ضعف (yaitu نوح بن ذاكوان dan يوسف بن ابى كثر ) berada sebelum بقية بن الوالير dan semua sanad yang ada melalui dua perawi yang ضعف tersebut.
Pendapat dan keterangan ulama mengenai hadits ini, ulama hadits telah meneliti dan menilai jalur sand ini, diantaranya adalah :
1. ابن عدى (w. 365 H) dalam kitab الكامد mengatakan hadits-hadits ini termasuk hadits yang diriwayatkan dari الحسن dari ابس tidak terjaga (dari kekeliruan periwayatan)
2. الدار قطى (w. 385 H) dalam kitab الافرد mengatakan بقيه sendiri saja dalam meriwayatkan hadits ini dari يوسف dari نوح
3. ابو نعم (w. 430 H) dari kitab حليه الأولبأ mengatakan ini adalah bentuk jalur sanad tunggal dari hadits riwayat الحسن dan انس yang saya ketahui hadits ini hanya diriwayatkan oleh نوح dari الحسن.
4. الامام اليصير (w. 480 H) dalam kitab مصباح الزجاجه mengatakan ini adalah sand yang dlo’if.
5. السندي Dalam شرح سنن لبن ماجه mengatakan dalam kitab الزوائد dinyatakan bahwa sanad hadits ini adalah dlo’if sebab لوح بن ذكوان disepakati تضعيفه sebagai mana diterangkan sebelum ini. Dan الدميرىmengatakan bahwa hadits ini adalah diantara hadits yang diingkari (kesahihannya) sebagaimana hadits yang sebelum ini.
PENUTUP
Demikianlah
makalah yang kami buat tentang takhrij dan menghukumi hadits. Dapat
disimpulkan bahwa takhrij merupakan penelusuran tentang matan hadits
melalui kitab-kitab yang ada, seperti kitab takhribut tahdzib dan
lain-lain. Dalam metode takhrij juga bisa melalui lafal pertama matan
hadits, melalui kata-kata dalam hadits, melalui perawi hadits pertama,
melalui teman hadits dna melalui status hadits.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Thohhah, Mahmud. 1995. Dasar-dasar Ilmu Takhrij dan Studi Sanad. Searang: Dina Utama
Mahdi, Abu M.A. 1994. Metode Takhrij Hadits. Semarang: Dina Utama