A. PENERIMA HADIS
1. Penerima Anak-anak, Orang Kafir dan Orang Fasik
Jumhur ulama ahli hadis berpendapat, bahwa penerima periwayatan suatu hadis oleh anak yang belum sampai umur (belum mukallaf)
dianggap sah bila periwayatan hadis tersebut disampaikan kepada orang
lain pada waktu sudah mukallaf. Hal ini didasarkan kepada keadaan para
sahabat, tabi’in dan ahli ilmu setelahnya yang menerima periwayatan
hadis seperti Hasan, Abdullah bin Zubeir, Ibnu Abbas, Nu’man bin Basyir,
Salib bin Yazid dan lain-lain dengan tanpa mempermasalahkan apakah
mereka telah baligh atau belum, namun mereka berbeda pendapat mengenai
batas minimal usia anak yang diperbolehkan bertahammul, sebab
permasalahan ini tidak terlepas dari ketamyizan anak tersebut.
Al-Qadhi’ Iyad menetapkan, bahwa batas minimal usia anak diperbolehkan bertahammul paling
tidak sudah mampu menghafal apa yang diengar dan mengingat-ingat yang
dihafal. Pendapat ini didasarkan pada hadis riwayat Bukhari dari
Sahabat Mahmud bin Al-Rubai’;
Arab.....hadis
“ Saya ingat Nabi SAW. Meludahkan air yang diambilnya dari timba ke mukaku, sedang saat itu saya berusia lima tahun”.
Abu abdullah Al-Zuba’i mengatakan, bahwa sebaiknya anak diperbolehkan
menulis hadis pada saat usia mereka telah mencapai umur sepuluh tahun,
sebab pada usia ini akal mereka telah dianggap sempurna, dalam arti
bahwa mereka telah mempunyai kemampuan untuk menghafal dan mengingat
hafalannya dan mulai menginjak dewasa. Yahya bin Ma’in menetapkan usia
lima belas tahun, berdasarkan hadis Ibnu Umar : “ saya dihadapkan
kepada Rasulullah SAW pada waktu perang Uhud, disaat itu saya baru
berusia empat belas tahun, beliau tidak memperkenankan aku. Kemudian aku
dihadapan kepada Nabi SAW. pada waktu perang Khondaq, disaat yang
berumur lima belas tahun dan beliau memperkenankan aku”.
Sementara
ulamaSyam memandang usia yang ideal bagi seorang untuk meriwayatkan
hadis setelah berusia 30 tahun, dan ulama Kufah berpendapat minimal
berusia 20 tahun.[1]
Kebanyakan
ulama ahli hadis tidak menetapkan batasan usia tertentu bagi anak yang
diperbolehkan bertahammul, akan tetapi lebih menitik beratkan pada ke-tamyiz-an mereka. Namun mereka juga berpendapat tentang ke-tamyiz-an tersebut. Ada yang mengatakan bahwa anak sudah dikategorikan tamyiz apabila anak tersebut sudah mampu membedakan antara al-baqarah dan al-himar, seperti diungkapkan oleh Al-Hafidz bin Musa bin Harun Al-Hammal. Menurut Imam Ahmad, bahwa ukuran tamyiz adalah
adanya kemampuan menghafal yang didengar dan mengingat yang dihafal.
Ada juga yang mengatakan, bahwa yang dijadikan ukuran ketanggisan
seseorang itu bukan berdasarkan usia mereka, akan tetapi dilihat dari “
apakah anak itu memahami pembicaraan dan mampu menjawab pertanyaan
dengan benar atau tidak.”
Terjadinya perbedaan pendapat ulama mengenai ke-tamyiz-an
seseorang tidak terlepas dari kondisi yang mempengaruhi kepadanya dan
bukan berdasarkan pada usianya, sebab bisa saja seseorang pada usianya
tertentu, karena situasi dan kondisi yang mempengaruhi, dia sudah
mumayiz, sementara seseorang pada usia yang sama, karena situasi dan
kondisi yang mempengaruhi berbeda, dia belum mumayiz. Oleh karenanya,
ke-tamyiz-an seseorang bukan diukur dari usia, tetapi didasarkan pada
tingkat kemampuan menangkap dan memahami pembicaraan dan mampu menjawab
pertanyaan dengan benar serta adanya kemampuan menghafal dan
mengingat-ingat hafalannya.
Mengenai
penerimaan hadis bagi orang kafir dan orang fasik, jumhur ulama ahli
hadis menganggap sah, asalkan hadis tersebut diriwayatkan kepada orang
lain pada saat mereka telah masuk Islam dan bertobat. Alasan yang mereka
kemukakan adalah banyaknya kejadian yang mereka saksikan dan banyak
sahabat yang mendengar sabda Nabi SAW sebelum mereka masuk Islam Di antara, sahabat yang mendengar sabda Rasul SAW. pada waktu belum masuk Islam adalah sahabat Zubair. Dia pernah mendengar Rasul SAW. membaca surat AI-Thor pada waktu sembahyang maghrib, ketika dia tiba di Madinah untuk menyelesaikan urusan perang Badar, dalam keadaan masih kafir. Akhirnya dia,masuk
Islam. Bila penerima hadis oleh orang kafir yang kemudian
disampaikannya setelah memeluk agama Islam diterima. Maka sudah barang
tentu dianggap sah penerima hadis oleh orang fisik yang diriwayatkan
setelah dia bertobat.
2. Cara Penerimaan Hadis
Para ulama ahli hadis menggolongkan metode menerima suatu periwayatan hadis menjadi delapan macam.
a. Al-Sima’
Yakni
suatu cara penerima hadis dengan cara mendengarka sendiri dari perkatan
gurunya dengan cara didektekan baik dari hafalannya maupun dari
tulisannya. Sehingga yang menghadirinya mendengar apa yang
disampaikannya tersebut. Menurut jumhur ahli bahwa cara ini merupakan
cara peneriman hadis yang paling tinggi tingkatannya.
Kesalahan, tetapi, dalam al-qira’ah,
bila bacaan murid salah, guru segera membenarkannya. Imam Malik,
Bukhari, sebagian besar ulama Hijaz dan Kufah menganggap bahwa antara
al-qira’ah dengan al-sama’ mempunyai hubungan yang sama. Ibnu
Abbas mengatakan (kepada muridnya) “Bacakanlah kepadaku, sebab bacaan
kalian kepadaku seperti bacaanku kepada kalian”. Sementara Ibnu
Al-Shalah, Imam Nawawi dan Jumhur ulama memandang bahwa al-sama’ lebih tinggi derajatnya dibandig dengan cara al-qira’ah.
c. Al-Ijazah
Yakni
seorang guru yang memberikan ijin kepada muridnya untuk meriwayatkan
hadis atau kitab kepada seseorang atau orang-orang tertentu, sekalipun
murid tidak membacakan kepada gurunya atau tidak mendengarkan bacaan
gurunya, seperti:
(saya mengijazahkan kepadamu untuk meriwayatkan dariku). اَ جَزْ تُ لَكَ اَ نْ تَرْ وِ يَ عَنَّى
Para ulama berbeda pendapat mengenai penggnaan ijazah ini sebagai cara untuk meriwayatkan hadis. Ibnu Hazm mengatakan bahwa cara meriwayatkan hadis dengan menggunakan ijazah
ini di anggap bid’ah dan tidak diperbolehkan dan bahkan ada sebagian
ulama yang menambahkan bahwa ijazah ini benar-benar diingkari. Sedang
ulama yang memperbolehkan cara ijazah ini menetapkan syarat hendaknya
sang guru benar-benar mengerti tentang apa yang dijazahkan dan naskah
muridnya menyamai dengan yang lain, sehingga seolah-olah naskah tersebut
adalah aslinya serta hendaknya guru yang memberi ijazah itu benar-benar
ahli ilmu.
Al-Qadhi
‘iyad membagi Ijazah ini menjadi enam macam, sedang Ibnu Al-Shalah
menambah satu macam lagi, sehingga menjadi tujuh macam. Ketujuh macam
al-ijazah tersebut sbagai berikut:
Pertama, seseorang
guru mengijazahkan kepada seseorang tertentu atau kepada beberapa orang
tertentu sebuah kitab atau beberapa kitab yang dia sebutkan kepada
mereka. Al-Ijazah seperti ini diperbolehkan menurut jumhur.
Kedua, bentuk Ijazah kepada orang tertentu untuk meriwayatkan sesuatu yang tidak tertentu, seperti “saya Iajazahkan kepadamu
sesuatu yang saya riwayatkan untuk kamu riwayatkan dariku”. Cara
seperti ini menurut jumhur juga tergolong yang diperbolehkan.
Ketiga, bentuk ijazah secara umum, seperti ungkapan, “saya ijazahkan kepadamu kaum Muslimin atau kepada orang-orang yang ada (hadir)”.
Keempat, bentuk Ijazah kepada orang yang tidak tertentu untuk meriwayatkan sesuatu yang tidak tertentu. Cara seperti ini dianggap fasid (rusak).
Kelima, bentuk ijazah kepada orang yang tidak ada, seperti mengijazahkan kepada bayi yang masih dalam kandungan. Bentuk ijazah seperti ini tidak sah.
Keenam, bentuk al-ijazah
mengenai sesuatu yang belum diperdengarkan atau dibacakan kepada
penerima ijazah, seperti ungkapan “saya ijazahkan kepadamu untuk kamu
riwayatkan dari sesuatu yang akan kudengarnya”. Cara seperti ini diangap
batal.
Ketujuh, bentuk al-ijazah al-mujaz, seperti perkataan guru “saya ijazahkan kepadamu ijazahku”. Bentuk ini termasuk yang diperbolehkan.
d. Al-Munawalah
Yakni seorang guru memberikan hadis atau beberapa hadis atau sebuah
kitab kepada muridnya untuk diriwayatkan. Ada juga yang mengatakan,
bahwa al-munawalah ialah seorang guru memberi kepada seorang
murid, kitab asli didengar dari gurunya, atau sesuatu naskah yang sudah
di cocokan, sambil berkata, “inilah hadis-hadis yang sudah saya dengar
dari seseorang, maka riwayatkanlah hadis itu dariku dan saya ijazahkan
kepadamu untuk diriwayatkan”.
Al-Munawalaha itu mempunyai dua bentuk, yakni:
Pertama,
al-munawalah dibarengi dengan ijazah. Misalnya setelah sang guru
menyerahkan kitabnya yang telah dia riwayatkan atau naskahnya yang telah
dicocokan atau beberapa hadis yang telah ditulis, lalu dia katakan
kepada muridnya “ini riwayat saya, maka riwayatkanlah aku”, kemudian
menyerahkannya dan sang murid menerima sambil sang guru berkata “saya
telah ijazahkan kepadamu dalam bentuk ini ialah sang murid membacakan
naskah yang diperoleh dari gurunya, kemudian sang guru mengakui dan
mengijazahkan kepada muridnya untuk diriwayatkannya darinya. Cara
seperti ini, menurut al-Qadhi ‘Iyad termasuk periwayatan yang diangap
sah oleh para ulama ahli hadis. Hadist yang berdasar atas munawalah
bersama ijazah biasanya menggunakan redaksi : (
seseorang telah memberitahukan kepadaku/ kami)
Kedua,
al-munawalah tanpa dibarengi dengan ijazah, seperti perkataan guru
kepada muridnya “ini hadis saya”atau “ini adalah hasil pendengaranku
atau dari periwayatanku” dan tidak mengatakan “riwayatkanlah dariku atau
saya ijazahkan kepadamu”. Menurut kebanyakan ulama al-Munawalah
dalam bentuk ini tidak diperbolehkan. Hadis yang diriwayatkan
berdasarkan munawalah tanpa dibarengi ijazah ini biasanya mengunakan
redaksi: (seorang telah memberikan kepadaku/
kami).
e. Al- Muktabah
yakni
seorang guru menuliskan sendiri atau menyuruh orang lain untuk
menuliskan sebagaian hadisnya guna diberikan kepada murid yang ada di
hadapannya atau yang tidak hadir dengan jalan dikirimi surat melalui
orang yang dipercaya untuk menyampaikannya.
Al-Muktabah ada dua macam, yakni :
Pertama,
al-Muktabah yang dibarengi dengan ijazah, yaitu sewaktu sang guru
menuliskan beberapa hadis untuk diberikan kepada muridnya disertai
dengan kata-kata “ini adalah hasil periwayatanku, maka riwayatkanlah”
atau “ saya ijazah ( izin) kan kepadamu untuk kamu riwayatkan kepada
orang lain”. Kedudukan al-muktabah dalam bentuk ini sama halnya dengan
al-munawalah yang dibarengi dengan ijazah, yaki dapat diterima.
Kedua,
al-mukatabah yang tidak dibarengi dengan ijazah, yakni guru menuliskan
hadis untuk diberikan kepada muridnya dengan tanpa disertai perintah
untuk meriwayatkan atau mengijazahkan. Al-Mukatabah dalam bentuk ini
diperselisihkan leh para ulama. Ayub, Mansur, al-Lais, dan tidak
sedikit dari ulama Syafi’iyah dan ulama usul menganggap sah periwayata
dengan cara ini. Sedangkan al-Mawardi menganggap tidak sah.
f. Al-I’am
Yakni
pemberitahuan seorang guru kepada muridnya, bahwa kitab atau hadis yang
diriwayatkan dia terima dari seseorang (guru), dengan tanpa memberikan
izin kepada muridnya untuk meriwayatkannya atau menyuruhnya. Sebagaian
Ulama ahli ushul dan pendapat ini dipilih oleh Ibnu al –Shalah
menetapkan tidak sah meriwayatkan hadis dengan cara ini. Karena
dimungkinkan bahwa sang guru sudah mengetahui ada sedikit atau banyak
cacatnya. Sedangkan kebanyakan ulama ahli hadis,ahli fiqh dan ahli
ushul memperbolehkannya.
Contohnya:
( seseorang telah memberitahukan padaku:”telah berkata kepada kami....”)
g. al-Wasiyah
Yakni
seorang guru, ketika akan meninggal atau beberpgian, meningalkan pesan
kepada orang lain untuk meriwayatkan hadis atau kitabnya, setelah sang
guru meninggal atau bepergian. Periwayatan hadis dengan cara ini oleh
jumhur diangap lemah. Sementara Ibnu Sirin membolehkan mengamalkan hadis
yang diriwayatkan atas jalan wasiat ini. Orang yang diberi wasiat
ini tidak boleh meriwayatkan hadis dari si pemberi wasiat degan
redaksi
( sesepramg terang memberitahukan kepadaku begini) karena si penerima wasiat tidak bertemu degannya.
h. Al-Wijadah
Yakni seorang memperoleh hadis orang lain dengan mempelajari kitab-kitab hadis dengan tidak melalui cara al-samd', alij6zah atau al-mundwalah. Para ulama berselisih pendapat mengenai cara ini. kebanyakan ahli hadis dan ahli fiqih dari mazhab Malikiyah tidak memperbolehkan meriwayatkan hadis dengan cara ini. Imam Syafi'i dan segolongan pengikutnya memperbolehkan beramal dengan hadis yang periwayatannya malalui cara ini. Ibnu Al-Shaldh mengatakan, bahwa sebagian ulama Muhaqqiqin mewajibkan mengamalkannya bila diyakini kebenarannya.
B. PERIWAYATAN HADIS
Sebagaimana dimuka telah disebutkan, bahwa al-,ida'ialah menyampaikan atau meriwayatkan hadis kepada orang lain. Oleh karenanya, ia mempunyai peranan yang sangat penting dan sudah barang tentu menurut pertanggungjawaban yang cukup berat, sebab sah atau tidaknya suatu hadis juga sangat tergantung padanya. Mengingat hal-hal seperti ini, jumhur ahli Hadis, ahli ushul dan ahli fiqh menetapkan beberapa syarat bagi periwayatan hadis, yakni sebagai berikut:
a. Islam
Pada
waktu meriwayatkan suatu hadis, maka seorang perawi hares Muslim, dan
menurut Ijma, periwayatan kafir tidak sah. Seandainya perawinya seorang
fasik saja kita disuruh bertawaquf, maka lebih-lebih perawi yang kafir. Kaitannya dengan masalah ini bisa kita bandingkan dengan firman Allah sebagai berikut:
Hai orang-orang yang beriman, apabila datang kepadamu orangorang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan sesuatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaan sehingga kamu akan menyesal atas perbuatanmu itu. (QS. Al-Hujurat (49): 6)
b. Baligh
Yang dimaksud dengan baligh ialah perawinya cukup usia ketika ia meriwayatkan hadis, walau penerimanya sebelum baligh. Hal iini didasarkan pads hadis Rasul:
“Hilang
kewajiban menjalankan syari’at islam dari tiga golongan, yaitu orang
gila, sampai dia sembuh, orang yang tidur sampai bangun dan anak-anak
sampai ia mimpi”, (HR. Abu Daud dan Nasa’i)
[1] Ulama Kufah dalam kehidupan sehari-hari tidak mengizinkan putra-putranya untuk belajar hadis sebelum mencapai usia 30 tahun. Untuk usia di bawah itu disibukkan dengan menghafal Al-Quran, belajar ilmu Faraid, fiqih dan lain-lain. Lihat Al-Syuyuthi, Tadrib Al-Rawi, Jilid 2, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1988), hlm. 5.