Minggu, 24 Maret 2013

Menerima dan Menyampaikan Hadits

A.    PENERIMA HADIS
1.      Penerima Anak-anak, Orang Kafir dan Orang Fasik
Jumhur ulama ahli hadis berpendapat, bahwa penerima periwayatan suatu hadis oleh anak yang belum sampai umur (belum mukallaf) dianggap sah bila periwayatan hadis tersebut disampaikan kepada orang lain pada waktu sudah  mukallaf. Hal ini didasarkan kepada keadaan para sahabat, tabi’in dan ahli ilmu setelahnya yang menerima periwayatan hadis seperti Hasan, Abdullah bin Zubeir, Ibnu Abbas, Nu’man bin Basyir, Salib bin Yazid dan lain-lain dengan tanpa mempermasalahkan apakah mereka telah baligh atau belum, namun mereka berbeda pendapat mengenai batas minimal usia anak yang diperbolehkan bertahammul, sebab permasalahan ini tidak terlepas dari ketamyizan  anak tersebut.
      Al-Qadhi’ Iyad menetapkan, bahwa batas minimal usia anak diperbolehkan  bertahammul  paling tidak sudah mampu menghafal apa yang diengar dan mengingat-ingat yang dihafal. Pendapat ini didasarkan pada hadis riwayat Bukhari  dari Sahabat Mahmud bin Al-Rubai’;
Arab.....hadis
“ Saya  ingat Nabi SAW. Meludahkan air yang diambilnya dari timba ke mukaku, sedang saat itu saya berusia lima tahun”.
      Abu abdullah Al-Zuba’i mengatakan, bahwa sebaiknya anak diperbolehkan menulis hadis pada saat usia mereka telah mencapai umur sepuluh tahun, sebab pada usia ini akal mereka telah dianggap sempurna, dalam arti bahwa mereka telah mempunyai kemampuan untuk menghafal dan mengingat hafalannya dan mulai menginjak dewasa. Yahya bin Ma’in menetapkan usia lima belas tahun, berdasarkan hadis Ibnu Umar : “ saya dihadapkan kepada Rasulullah SAW pada waktu perang Uhud, disaat itu saya baru berusia empat belas tahun, beliau tidak memperkenankan aku. Kemudian aku dihadapan kepada Nabi SAW. pada waktu perang Khondaq, disaat yang berumur lima belas tahun dan beliau memperkenankan aku”.
Sementara ulamaSyam memandang usia yang ideal bagi seorang untuk meriwayatkan hadis setelah berusia 30 tahun, dan ulama Kufah berpendapat minimal berusia 20 tahun.[1]
Kebanyakan ulama ahli hadis tidak menetapkan batasan usia tertentu bagi anak yang diperbolehkan bertahammul, akan tetapi lebih menitik beratkan pada ke-tamyiz-an mereka. Namun mereka juga berpendapat tentang ke-tamyiz-an tersebut. Ada yang mengatakan bahwa anak sudah dikategorikan tamyiz apabila anak tersebut sudah mampu membedakan antara al-baqarah dan al-himar, seperti diungkapkan oleh Al-Hafidz bin Musa bin Harun Al-Hammal. Menurut Imam Ahmad, bahwa ukuran tamyiz adalah adanya kemampuan menghafal yang didengar dan mengingat yang dihafal. Ada juga yang mengatakan, bahwa yang dijadikan ukuran ketanggisan seseorang itu bukan berdasarkan usia mereka, akan tetapi dilihat dari “ apakah anak itu memahami pembicaraan dan mampu menjawab pertanyaan dengan benar atau tidak.”
Terjadinya perbedaan pendapat ulama mengenai ke-tamyiz-an seseorang tidak terlepas dari kondisi yang mempengaruhi kepadanya dan bukan berdasarkan pada usianya, sebab bisa saja seseorang pada usianya tertentu, karena situasi dan kondisi yang mempengaruhi, dia sudah mumayiz, sementara seseorang pada usia yang sama, karena situasi dan kondisi yang mempengaruhi berbeda, dia belum mumayiz. Oleh karenanya, ke-tamyiz-an seseorang bukan diukur dari usia, tetapi didasarkan pada tingkat kemampuan menangkap dan memahami pembicaraan dan mampu menjawab pertanyaan dengan benar serta adanya kemampuan menghafal dan mengingat-ingat hafalannya.
Mengenai penerimaan hadis bagi orang kafir dan orang fasik, jumhur ulama ahli hadis menganggap sah, asalkan hadis tersebut diriwayatkan kepada orang lain pada saat mereka telah masuk Islam dan bertobat. Alasan yang mereka kemukakan adalah banyaknya kejadian yang mereka saksikan dan banyak sahabat yang mendengar sabda Nabi SAW sebelum mereka masuk Islam Di antara, sahabat yang mendengar sabda Rasul SAW. pada waktu belum masuk Islam adalah sahabat Zubair. Dia pernah mendengar Rasul SAW. membaca surat AI-Thor pada waktu sembahyang maghrib, ketika dia tiba di Madinah untuk menye­lesaikan urusan perang Badar, dalam keadaan masih kafir. Akhir­nya dia,masuk Islam. Bila penerima hadis oleh orang kafir yang kemudian disampaikannya setelah memeluk agama Islam diterima. Maka sudah barang tentu dianggap sah penerima hadis oleh orang fisik yang diriwayatkan setelah dia bertobat.
2.      Cara Penerimaan Hadis
Para ulama ahli hadis menggolongkan metode menerima suatu periwayatan hadis menjadi delapan macam.
a.         Al-Sima’
Yakni suatu cara penerima hadis dengan cara mendengarka sendiri dari perkatan gurunya dengan cara didektekan baik dari hafalannya maupun dari tulisannya. Sehingga yang menghadirinya mendengar apa yang disampaikannya  tersebut. Menurut jumhur ahli bahwa cara ini merupakan cara peneriman hadis yang paling tinggi tingkatannya.

Kesalahan, tetapi, dalam al-qira’ah, bila bacaan murid salah, guru segera membenarkannya. Imam Malik, Bukhari, sebagian besar ulama Hijaz dan Kufah menganggap bahwa antara al-qira’ah dengan al-sama’ mempunyai hubungan yang sama. Ibnu Abbas mengatakan (kepada muridnya) “Bacakanlah kepadaku, sebab bacaan kalian kepadaku seperti bacaanku kepada kalian”. Sementara Ibnu Al-Shalah, Imam Nawawi dan Jumhur ulama memandang bahwa al-sama’ lebih tinggi derajatnya dibandig dengan cara al-qira’ah.


c. Al-Ijazah
Yakni seorang guru yang memberikan ijin kepada muridnya untuk meriwayatkan hadis atau kitab kepada seseorang atau orang-orang tertentu, sekalipun murid tidak membacakan kepada gurunya atau tidak mendengarkan bacaan gurunya,  seperti:
 (saya mengijazahkan kepadamu untuk meriwayatkan dariku). اَ جَزْ تُ لَكَ اَ نْ تَرْ وِ يَ عَنَّى
Para ulama berbeda pendapat mengenai penggnaan ijazah ini sebagai cara untuk meriwayatkan hadis. Ibnu Hazm mengatakan bahwa cara meriwayatkan hadis dengan menggunakan ijazah ini di anggap bid’ah dan tidak diperbolehkan dan bahkan ada sebagian ulama yang menambahkan bahwa ijazah ini benar-benar diingkari. Sedang ulama yang memperbolehkan cara ijazah ini menetapkan syarat hendaknya sang guru benar-benar mengerti tentang apa yang dijazahkan dan naskah muridnya menyamai dengan yang lain, sehingga seolah-olah naskah tersebut adalah aslinya serta hendaknya guru yang memberi ijazah itu benar-benar ahli ilmu.
Al-Qadhi ‘iyad membagi Ijazah ini menjadi enam macam, sedang Ibnu Al-Shalah menambah satu macam lagi, sehingga menjadi tujuh macam. Ketujuh macam al-ijazah tersebut sbagai berikut:
   Pertama, seseorang guru mengijazahkan kepada seseorang tertentu atau kepada beberapa orang tertentu sebuah kitab atau beberapa kitab yang dia sebutkan kepada mereka. Al-Ijazah seperti ini diperbolehkan menurut jumhur.
   Kedua, bentuk Ijazah kepada orang tertentu untuk meriwayatkan sesuatu yang tidak tertentu, seperti “saya Iajazahkan kepadamu sesuatu yang saya riwayatkan untuk kamu riwayatkan dariku”. Cara seperti ini menurut jumhur juga tergolong yang diperbolehkan.
   Ketiga, bentuk ijazah secara umum, seperti ungkapan, “saya ijazahkan kepadamu kaum Muslimin atau kepada orang-orang yang ada (hadir)”.
   Keempat, bentuk Ijazah kepada orang yang tidak tertentu untuk meriwayatkan sesuatu yang tidak tertentu. Cara seperti ini dianggap fasid (rusak).
   Kelima, bentuk ijazah kepada orang yang tidak ada, seperti mengijazahkan kepada bayi yang masih dalam kandungan. Bentuk ijazah seperti ini tidak sah.
   Keenam, bentuk al-ijazah mengenai sesuatu yang belum diperdengarkan atau dibacakan kepada penerima ijazah, seperti ungkapan “saya ijazahkan kepadamu untuk kamu riwayatkan dari sesuatu yang akan kudengarnya”. Cara seperti ini diangap batal.
   Ketujuh, bentuk al-ijazah al-mujaz, seperti perkataan guru “saya ijazahkan kepadamu ijazahku”. Bentuk ini termasuk yang diperbolehkan.

d. Al-Munawalah
Yakni seorang guru memberikan hadis atau beberapa hadis atau sebuah kitab kepada muridnya untuk diriwayatkan. Ada juga yang mengatakan, bahwa al-munawalah ialah seorang guru memberi kepada seorang murid, kitab asli didengar dari gurunya, atau sesuatu naskah yang sudah di cocokan, sambil berkata, “inilah hadis-hadis yang sudah saya dengar dari seseorang, maka riwayatkanlah hadis itu dariku dan saya ijazahkan kepadamu untuk diriwayatkan”.
Al-Munawalaha itu mempunyai dua bentuk, yakni:
Pertama, al-munawalah dibarengi dengan ijazah. Misalnya setelah sang guru menyerahkan kitabnya yang telah dia riwayatkan atau naskahnya yang telah dicocokan atau beberapa  hadis yang telah ditulis, lalu dia katakan kepada muridnya “ini  riwayat saya, maka riwayatkanlah aku”, kemudian menyerahkannya dan sang murid menerima sambil sang guru berkata  “saya  telah ijazahkan kepadamu dalam bentuk ini  ialah sang  murid membacakan naskah yang diperoleh dari gurunya, kemudian sang guru mengakui dan mengijazahkan kepada muridnya untuk diriwayatkannya darinya. Cara seperti ini, menurut al-Qadhi ‘Iyad termasuk periwayatan yang diangap sah oleh para ulama ahli hadis. Hadist  yang berdasar atas munawalah bersama ijazah biasanya  menggunakan redaksi :                     ( seseorang telah memberitahukan kepadaku/ kami)
Kedua, al-munawalah tanpa dibarengi dengan ijazah, seperti perkataan guru kepada muridnya “ini hadis saya”atau “ini  adalah hasil pendengaranku atau dari periwayatanku” dan tidak mengatakan “riwayatkanlah dariku atau saya  ijazahkan kepadamu”. Menurut  kebanyakan  ulama al-Munawalah  dalam bentuk ini tidak diperbolehkan. Hadis  yang diriwayatkan berdasarkan munawalah tanpa dibarengi ijazah ini biasanya mengunakan redaksi:                        (seorang telah memberikan kepadaku/ kami).

e. Al- Muktabah
yakni seorang guru menuliskan sendiri atau menyuruh orang lain untuk menuliskan sebagaian hadisnya  guna diberikan kepada murid  yang ada di hadapannya atau yang tidak hadir dengan jalan dikirimi surat  melalui orang yang dipercaya untuk menyampaikannya.
Al-Muktabah ada dua macam, yakni :
Pertama, al-Muktabah yang dibarengi dengan ijazah, yaitu sewaktu sang guru menuliskan beberapa hadis untuk diberikan kepada muridnya disertai dengan kata-kata “ini  adalah hasil periwayatanku, maka riwayatkanlah” atau “ saya ijazah ( izin) kan kepadamu untuk kamu riwayatkan kepada orang lain”. Kedudukan al-muktabah  dalam bentuk ini sama halnya dengan al-munawalah yang dibarengi dengan ijazah, yaki dapat diterima.
Kedua, al-mukatabah yang tidak dibarengi dengan ijazah, yakni guru menuliskan hadis untuk diberikan kepada muridnya dengan tanpa disertai perintah untuk meriwayatkan atau mengijazahkan. Al-Mukatabah dalam bentuk ini  diperselisihkan  leh para ulama. Ayub, Mansur, al-Lais, dan tidak sedikit dari ulama Syafi’iyah dan ulama usul menganggap  sah periwayata dengan cara ini. Sedangkan al-Mawardi menganggap tidak sah.
f. Al-I’am
Yakni pemberitahuan seorang guru kepada muridnya, bahwa kitab atau hadis yang diriwayatkan dia terima dari seseorang (guru), dengan tanpa memberikan izin kepada muridnya untuk meriwayatkannya atau menyuruhnya. Sebagaian Ulama ahli ushul dan pendapat ini dipilih oleh Ibnu al –Shalah menetapkan tidak sah meriwayatkan hadis dengan cara ini. Karena dimungkinkan bahwa sang guru sudah mengetahui ada sedikit atau banyak cacatnya. Sedangkan kebanyakan ulama  ahli hadis,ahli fiqh dan ahli ushul memperbolehkannya.
Contohnya:
                                   ( seseorang telah memberitahukan padaku:”telah berkata kepada kami....”)
g. al-Wasiyah
Yakni seorang guru, ketika akan meninggal atau beberpgian,  meningalkan pesan kepada orang lain untuk meriwayatkan hadis atau kitabnya, setelah sang guru meninggal atau bepergian. Periwayatan hadis dengan cara ini oleh jumhur diangap lemah. Sementara Ibnu Sirin membolehkan mengamalkan hadis yang diriwayatkan  atas jalan  wasiat ini. Orang yang diberi wasiat ini  tidak boleh meriwayatkan hadis dari si pemberi wasiat degan redaksi                                                                      
                          ( sesepramg terang memberitahukan kepadaku begini)   karena si penerima wasiat tidak bertemu degannya.
                                                 
h. Al-Wijadah
Yakni seorang memperoleh hadis orang lain dengan mem­pelajari kitab-kitab hadis dengan tidak melalui cara al-samd', al­ij6zah atau al-mundwalah. Para ulama berselisih pendapat me­ngenai cara ini. kebanyakan ahli hadis dan ahli fiqih dari mazhab Malikiyah tidak memperbolehkan meriwayatkan hadis dengan cara ini. Imam Syafi'i dan segolongan pengikutnya memperbo­lehkan beramal dengan hadis yang periwayatannya malalui cara ini. Ibnu Al-Shaldh mengatakan, bahwa sebagian ulama Mu­haqqiqin mewajibkan mengamalkannya bila diyakini kebenar­annya.

B.  PERIWAYATAN HADIS
Sebagaimana dimuka telah disebutkan, bahwa al-,ida'ialah menyampaikan atau meriwayatkan hadis kepada orang lain. Oleh karenanya, ia mempunyai peranan yang sangat penting dan sudah barang tentu menurut pertanggungjawaban yang cukup berat, se­bab sah atau tidaknya suatu hadis juga sangat tergantung padanya. Mengingat hal-hal seperti ini, jumhur ahli Hadis, ahli ushul dan ahli fiqh menetapkan beberapa syarat bagi periwayatan hadis, yakni sebagai berikut:
a.    Islam
Pada waktu meriwayatkan suatu hadis, maka seorang pe­rawi hares Muslim, dan menurut Ijma, periwayatan kafir tidak sah. Seandainya perawinya seorang fasik saja kita disuruh ber­tawaquf, maka lebih-lebih perawi yang kafir. Kaitannya dengan masalah ini bisa kita bandingkan dengan firman Allah sebagai berikut:
Hai orang-orang yang beriman, apabila datang kepadamu orang­orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan sesuatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaan sehingga kamu akan menyesal atas perbuatanmu itu. (QS. Al-Hujurat (49): 6)

b.    Baligh
Yang dimaksud dengan baligh ialah perawinya cukup usia ketika ia meriwayatkan hadis, walau penerimanya sebelum ba­ligh. Hal iini didasarkan pads hadis Rasul:




“Hilang kewajiban menjalankan syari’at islam dari tiga golongan, yaitu orang gila, sampai dia sembuh, orang yang tidur sampai bangun dan anak-anak sampai ia mimpi”, (HR. Abu Daud dan Nasa’i)


[1] Ulama Kufah dalam kehidupan sehari-hari tidak mengizinkan putra-putranya untuk belajar hadis sebelum mencapai usia 30 tahun. Untuk usia di bawah itu disibukkan dengan menghafal Al-Quran, belajar ilmu Faraid, fiqih dan lain-lain. Lihat Al-Syuyuthi, Tadrib Al-Rawi, Jilid 2, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1988), hlm. 5.