1.Prolog
Pengalaman
manusia yang dipahami dalam kaiatannya tentang yang suci, ilahi, kudus
dan sakral melahirkan tingkatan dan nilai yang berbeda secara evolutif.
Jenis pengalaman ini adalah klaim kepercayaan yang biasanya melembaga
dan tentu saja hal ini menjadi fakta evolusi, bagi sebagian ahli agama
yang hingga sekarang tidak mudah dibantah, bahwa kepercayaan manusia
tentang yang sakral telah berjalan melalui proses perkembangan ide-ide
ketuhanan dengan sangat sistemis.
Tetapi
apakah tesis mengenai perkembangan ide–ide manusia tentang tuhan
berjalan secarah evolusi-sistemis, seperti yang umum diketahui? Menurut
Hans Khun, agama (ide-ide tentang paham ketuhanan), telah tumbuh dalam
keseluruhan format yang tidak sistemis.[1]
Mungkin apa yang dimaksudkan oleh Hans Khun, mengenai tesis ini adalah
teori-teori fase kepercayaan manusia yang terlanjur sistemis dengan
urutan sejarah yang bermula dari dinamisme lalu memuncak ke monoteisme.
Bagaimanapun skema ini adalah sejarah evolusi-sistemis, ide-ide
ketuhanan yang populer dan mainstream hingga abad ke-20 di Eropa.
Keterlanjuran
analisis sejarah Tuhan yang bergerak dari akar dinamisme primitif telah
mengabaikan konsensus-konsensus agama-agama tunggal yang sangat
mempercayai monoteisme absolut sebagai hal yang primordial. Seorang
antropolog, Wilhelm Schmidt mengemukakan perkembangan ide ketuhanan yang
dia tuangkan dalam dua belas volume tentang asal-usul agama. Wilhelm
meyakini bahwa, kepercayaan yang paling tua (pertama), bukanlah
animisme, pra-animisme atau totenisme, melainkan monoteisme primitif
(yang sederhana).[2]
Dengan
demikian perkembangan ide dan paham ketuhanan dapat didiskusikan dalam
dua pendekatan yang berbeda. Pendekatakan pertama adalah postulat agama
sebagai sejarah evolusi kepercayaan manusia yang memilih
tingkatan-tingkatan sistemis yang bermula dari dinamisme, animisme,
hingga memuncak pada monoteisme obsolut. Pendekatan kedua adalah
anilisis perkembangan ide ketuhanan (agama) yang dipahami tidak sebagai
sebuah postulat yang bergerak tersusun berdasarkan tingkatan dari hal
yang primitif menuju pada situasi yang positif (posistivisme). Kedua
cara ini memiliki implikasi yang berbeda. Cara pandang pertama,
diniscayakan akan mengacaukan konsensus monoteisme agama-agama
primordial. Cara pandang kedua menghadirkan kemungkinan luas pada
analisis perkembangan ide-ide tentang tuhan, keluar dari analisis
populer tentang monoteisme yang hegeomoni terhadap yang selainnya.
2.Perkembangan Ide-Ide dan Paham Ketuhanan dalam Paradigma Evolutif
Paradigma
evolutif perkembangan ide dan paham ketuhanan manusia, pada awalnya
termuat dalam perbincangan filsafat sosial yang sangat populer dari abad
17 hingga abad 20 di Eropa. Pertama kali paradigma ini dikembangkan
oleh para sosialog abad pencerahan (modern), seperti misalnya Aguste
Comte, Durkheim dll. Para sosiolog ini menyakini perkembangan manusia
berdasarkan tahapan-tahapan tertentu yang memiliki dampak
perubahan-perubahan pada kondisi sosial dan individual manusia.
Perubahan ini digambarkan akan memuncak pada situasi positifisme ketika
manusia berhasil menyingkap tirai-tirai metafisik menuju dunia fisik
(ilmu pengetahuan) yang pasti.
Menurut Comte manusia telah mengalami tiga tahap perkembangan sejarah. Pertama,
tahap teologis saat gejala alam dipahami sebagai kejadian langsung
kekuatan Tuhan. Kedua, tahap metafisis. Pada tahap ini kekuatan ilahi
yang personal telah tergantikan berbagai fenomena yang dikaitkan pada
subtansi tidak nampak atau prinsip-prinsip metafisika seperti kodrat,
kuasa absolut yang tersembunyi dibalik segala sesuatu sebagai
watak-watak maujud. Dan sebagai metodologinya adalah argumentasi
rasional, bukan khayalan, sedangkan observasi memiliki kedudukan kedua.
Ketiga, adalah tahap positivis ilmiah. Pada tahap ini manusia memusatkan
perhatiannya untuk mengetahui fenomena-fenomena alam luar, dan mulai
berkonsentrasi pada observasi, pengukuran dan kalkulasi untuk menemukan
hukum-hukum dasar jagat raya, sehingga dalam dalam tahap positif-ilmiah
pertanyaan dasarnya adalah bagaimana sesuatu dapat terjadi, bukan
pertanyaan mengapa.[3]
Hukum
Comte ini kemudian sangat populer dan banyak dipakai sebagai pisau
analisis sosial dan tahapan perkembangan masyarakat agama. Harun
nasution misalnya, melihat perkembangan ide paham ketuhanan manusia
bermula dari tahapan fase dinamisme,[4] animisme,[5] dan polyteisme, henoisme hingga monoteisme
sebagai fase puncak yang dalam teori Comte dia meyebutnya fase
metafisika. Analisis yang sama dikumukakan oleh Nurchalis Madjid bahwa
proses demitologi agama dimulai dari pengkudusan simbol-simbol tertentu
dikalangan masyarakat primitif dengan mitos tertentu, sebelum pesan
langit datang meluruskan mitos tersebut (demitologi). Agama dalam hal
ini telah melakukan desakralisasi fundamen, terhadap kekuatan alam yang
dominan, terhadap kekuatan alam yang dinamis, terhadap kekuatan banyak
dewa, terhadap kuasa dewa atas dewa lainnya.
Tesis
demikian membuktikan dirinya benar adanya, kemudian kian menjadi jelas
bahwa tidak ada teori degenarasi dari permulaan monoteisme yang lebih
tinggi yang bisa disubtansikan dalam kerangka definitif. Kebanyakan
teori landasan permulaan ide dan paham ketuhanan disandarkan pada
paradigma salah menjadi benar atau dari yang primitif menuju yang
modern. Secara saintifik situasi kesulitan membuktikan ide paham
ketuhanan monoteistik, menjadikan orang seperti Sigmund, kian meyakini
bahwa sumber-sumber dasar ketuhanan sebagai manifestasi historis agama,
secara rasional tidak mungkin tercapai. Masyarakat kontemporer bukanlah
masyarakat primitif dan sejauh mana ide ketuhanan diamati, tidak akan
mampu melampaui konsensus dasar historis manusia yang bermula dari
kejahilan.
Fakta
ide dan paham ketuhanan kontemporer sering tidak memuat bagian penting
dari gagasan primordialisme agama-agama. Meskipun pembahasannya juga
sering menyinggung bagian penting tentang kepercayaan agama-agama
primitif yang menjangkau kamunitas-komunitas politeisme awal, misalnya
kaum kepercayaan orang-orang Polinesia.[6]
Pendekatan normatif mengenai fundamen ide ketuhanan dan tahapan
perkembangannya dapat dimengerti berdasarkan manuskrip-manuskrip kitab
suci. Meskipun cara ini sangat skripturalis tetap penting dijadikan
sebagai analisis dasar, misalnya sejak kapan manusia percaya adanya
Tuhan? Tentang dunia metafisik? Tentang kekuatan-kekuatan gaib? Dan
pertanyaan metafisika lainnya. Pendekatan ini, dianggap kurang ilmiah
karena faktanya adalah fakta kitab suci yang dapat dianggap sebagai
fakta mitos yang sangat fides.
Perkembangan
ide dan paham ketuhanan tidak hanya berhenti dari hukum Comte saja,
tetapi implikasinya terus berlanjut dan secara keseluruhan hal yang
sangat penting dalam melihat masalah ini adalah perkembangan ide dan
paham ketuhanan kaitannya dengan perkembangan dunia Eropa masa modern.
Ide dan paham tentang Tuhan mengalami dinamisasi yang luar biasa di masa
transisi Eropa menuju babak modern dan yang menjadi fokus kajiannya
adalah problem antara fides dan dunia fisika (ilmu pengetahuan).
A. Masa transisi hingga posmodernisme
Bertrand Russel, sebagaimana dikutip oleh Rodliyah Khuzai, mengemukakan lima gejala transisi Eropa gelap menuju Eropa Modern. Pertama, berkurangnya otoritas gereja dan meningkatnya otoritas ilmu. Kedua, kekuasaan gereja yang semula dominan mulai berkurang dan digantikan fungsinya oleh raja. Ketiga,
jika abad pertengahan manusia berusaha memahami dunia (theorical
science), maka masa modern manusia berusaha mengubah dunia yaitu
(practical Science). Keempat, jika pada masa pertengahan manusia
yang berusaha memahami dunia dan tidak sesuai dengan isi kitab suci maka
akan dihukum. Tetapi pada masa modern penolakan terhadap kitab suci
dianggap sah jika menemukan sebuah teori yang dilandasi oleh ilmu
pengetahuan. Kelima, kebebasan dari otoritas gereja menimbulkan individualisme atau bahkan anarkisme.[7]
Hal yang paling dicermati pada masa itu adalah situasi reinterpretasi
terhadap doktrin agama, khususnya agama Kristen yang bergesekan langsung
dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Situasi ini penjadi penting
sebagai babakan baru perkembangan ide dan paham ketuhanan yang kelak
melahirkan ilmu pengetahuan vis a vis agama dengan ragam paradigma di
mana kaum intelektual Eropa mengalami demam “kontras-paradigmatik”.[8]
1. Ide dan paham tuhan dalam Rasionalisme
Rasionalisme. Mazhab ini dipelopori oleh Rene Descartes (1596-1650), seorang filosof Prancis yang digelar sebagai bapak filsafat modern. Setelah lama merenung Descartes muncul untuk menghidupkan kembali pemikiran filsafat idealitas yang berakar pada idealisme Plato. Descartes melahirkan prinsip yang terkenal cagito ergo sum
(aku berpikir maka aku ada). Dalam pencarian pondasi yang kuat bagi
pengetahuan, ia memutuskan untuk tidak menerima kebetulan-kebetulan dan
menolak semua yang tidak pasti. Dalam hal ini, Kennet T Gallagher
menyebutnya sebagai skeptisme moderat, lawan dari skeptisme absolut dan
Descartes mengistilahkan metodenya sebagi keraguan metodis Universal.[9]
Ia menggunakan keraguan untuk mengatasi keraguan. Salah satu cara untuk
mengetahui sesuatu yang pasti dan tidak dapat diragukan adalah dengan
melihat seberapa jauh sesuatu itu dapat diragukan.
Menurut
Decartes observasi melalui penginderaan, kadang-kadang menipu manusia,
konsekuensinya manusiapun kadang melakukan kesalahan dalam penalaran.
Namun jika manusia “membuang” semua dimensi inderawinya, maka kalaupun
ada, apalagi yang tersisa? Dia mengatakan;
Kita
harus mengakui benda-benda jasmani ada. Namun, mungkin benda-benda
tersebut tidak persis sama seperti yang saya tangkap dengan indera,
sebab pemahaman dengan indera ini dalam banyak hal sangat kabur dan
kacau; tetapi kita sekurang-kurangnya harus mengakui bahwa semua benda
yang saya pahami di dalamnya dengan jelas dan disting...haruslah sungguh-sungguh dipahami sebagai obyek luar.[10]
Bagi Descartes dunia yang nampak oleh indera tidak akan mampu memberikan keyakinan benar, seperti oase di tengan padang
pasir. Oleh karena apa yang nampak bahkan tubuh kita sendiri, nampaknya
sangat meragukan, sehingga tidak ada satupun yang nyata kecuali
keraguan itu sendiri.
Ketika segalanya nampak meragukan, tentu saja saat itu ada sesuatu yang
melakukan tindakan meragu, yaitu “aku” yang sedang ragu, berpikir dan
sadar. Inilah pengetahuan yang terang dan jelas (clara et distincta) kebenaran yang tidak lagi terbagi. Ide seperti ini ini, clara et distincta,
adalah cita-cita kesempurnaan bagi suatu pengetahuan dan hanya yang tak
terbatas yang menyebabkan ide itu ada dalam diri manusia, dan yang sempurna itulah tuhan. Oleh karena itu Tuhan adalah aksistensi yang jelas dengan sendirinya. Tuhan yang
menjamin keberadaan akal manusia, sehingga kerja akal turut dalam dalam
jaminan Tuhan. Maka konsepsi akal mengenai jumlah, letak dan ukuran,
semua obyek yang bersifat materi pastilah benar. Pada posisi ini manusia
mampu memahami kebenaran secara obyektif.[11] Oleh karena itu rasionalisme Descartes memandang ilmu pengetahuan bersifat obyektif.
Epistemologi rasionalitas-cartesian jelas memisahkan antara
pengetahuan alam materi dengan pengetahuan alam metafisik. Alam materi
hanya dapat diperoleh melalui analisis, eksprimentasi, sedangkan
kebenaran tentang Tuhan atau kebenaran yang bersifat metafisik berhenti
secara sederhana. Tuhan tetap aman pada tempatnya sebagai pencipta,
selain itu tidak ada “tempat” untuk Tuhan. Mengenai hal ini Kennet T
Gallagher menyebut pandangan Descartes sebagai pandangan dikotomis yang
dilain sisi menegaskan pandangan mekanis mengenai alam semesta yang
memungkinkan kemajuan pesat di dalam sains, tetapi memperlakukan manusia
seperti “hantu yang merasuki sebuah mesin” yang bekerja dengan hukum
mekanika mesin.[12]
Pada realitas ini, Descartes menimbulkan masalah lain yaitu menjadikan
tuhan sebagai transendent murni. Hingga demikian konsepsi ide dan paham
ketuhanan dalam pandangan ini terbatas pada ranah innatea, tuhan
sebagai kesemestian metafisika berhenti pada ranah tak pasti, apakah
manusia wajib meyembah tuhan, itu bukan masalah, sebab yang menjadi daya
dobrak rasionalisme adalah ilmu pengetahuan fisik.
2. Ide dan paham Tuhan dalan Empirisme
Empirisme
pertama kali diperkenalkan oleh filsuf dan negarawan Inggris Francis
Bacon pada awal-awal abad ke-17. Ia bermaksud meninggalkan ilmu
pengetahuan yang lama karena dipandang tidak memberi kemajuan tidak
memberi hasil yang bermanfaat, dan tidak memberikan hal-hal yang baru
bagi kehidupan. Akan tetapi perkembangan pemikiran empirisme ini
didesain secara lebih sistemik oleh John Locke yang kemudian dituangkan
dalam bukunya “Essay Concerning Human Understanding (1690 M)”.
John Locke memandang bahwa nalar seseorang pada waktu lahirnya adalah
ibarat sebuah tabula rasa, sebuah batu tulis kosong tanpa isi, tanpa
pengetahuan apapun. Lingkungan dan pengalamanlah yang menjadikannya
berisi. Pengalaman indrawi menjadi sumber pengetahuan bagi manusia dan
cara mendapatkannya tentu saja lewat observasi serta pemanfaatan seluruh
indra manusia. John Locke adalah orang yang tidak percaya terhadap
konsepsi intuisi dan batin.
Menurut
John Locke ide dalam benak manusia didapatkan melalui pengalaman atau
aposteriori. Ide manusia lalu terbagi dua yaitu ide sederhana dan ide
kompleks. Ide sederhana didapatkan melalui penginderaan yang disebut
sensasi, sedangkan ide kompleks ialah refleksi terhadap ide sederhana
yang kemudian membentuk persepsi.[13]
Pengetahuan yang rumit harus dapat dilacak kembali pada penginderaan
yang sederhana, jika tidak akan beresiko menjadi pengetahuan yang
keliru, karenanya harus ditolak.
Bagi
Locke persepsi manusia dapat membedakan dua kualitas pada benda, yaitu
kualitas primer dan kualitas sekunder. Kawalitas primer bersifat riil
yang terdapat pada benda itu sendiri, seperti; kepadatan, keluasan,
bentuk, gerak, berat, jumlah dan lain-lain.[14] ide
yang timbul dari kualitas primer merepresentasikan benda secara
akurat, kualitas inilah yang merupakan bagian esensial dalam
karakteristik kebenaran pengetahuan. Karena itu ilmu bersifat obyektif
yang dikarenakan berdasarnya nilai pada indera yang merefleksikan
kualitas primer pada benda. Selain kualitas primer ide juga merupakan
kualitas lain ketika mempersepsi kualitas sekunder seperti, warna, bau,
rasa, suara, yang bergantung pada kemampuan persepsi manusia, karena
tidak menggambarkan realitas sejati dan mungkin saja meleset sehingga
tidak terjamin kebenarannya.[15]
Oleh karena itu ide yang muncul dari kualitas sekunder bersifat
subyektif. Berdasarkan pemahaman ini maka pengetahuan manusia tentang meta fisik (Tuhan) dengan sendirinya bersifat subyektif. Karena berdasarkan teori ini, ide tentang alam metafisik
dapat dirasakan melalui eksistensi diri, bahwa diri manusia adalah
sesuatu yang ada. Sesuatu yang ada hanya tercipta dari keabadian dan
ketiadaan tidak mungkin mengahasilkan sesuatu. Pengetahuan manusia yang
bersumber dari eksistensi dirinya bermula dari eksistensi yang lebih
luas atau eksistensi abadi dan inilah yang disebut metawujud.
Namun sayangnya pengetahuan manusia mengenai eksistensi tergolang dalam
kualitas sekunder, dan kualitas sekunder mungkin saja keliru. Karena
itu meski pun metode Locke mengakui ide tentang alam metafisik (Tuhan)
namun ide tersebut sangatlah samar dan meragukan. Hanya sains yang
jelas dan terang serta pasti, karena berangkat dari kualitas primer yang
mengambarkan dunia materi secara akurat meski pun dunia yang
digambarkan adalah dunia yang tak bernyawa dan tidak berbeda dari mesin.
3. Ide dan Paham Tuhan dalam Kritisme
Skeptisme
yang dibangun oleh Hume secara perlahan mengilhami munculnya pemikiran
kritis asal jerman bernama Immanuel Kant (1724-1804).[16] Dalam sebuah pengakuannya Kant menyatakan bahwa Hume telah membangunkannya dari ketidak sadaran dogmatis yang dialaminya.[17] Mulanya Kant mengaku rasionalisme lalu kemudian empirisme datang mempengaruhinya.
Namun Kant tidak sepenuhnya di bawah pengaruh empirisme dan tidak
menerima metodenya begitu saja, karena dia menganggap emperisme
membangun keraguaan terhadap akal budi. Walaupun dia mengakui kebenaran
pengatahuan indera sambil tetap juga mengakui kebenaran akal budi,
tetapi syarat-syaratnya harus tetap dicari, yaitu dengan menyelidiki
atau mengkritik pengetahuan akal budi dan akan diterangkan apa sebabnya,
dengan demikian pengetahuan menjadi mungkin, itulah sebabnya mengapa
aliran Kant disebut kritisme.[18]
Kant
merupanya menggabungkan empirisme dan rasioaliosme dengan mencari
sintesis antara keduanya. Dalam pandamngan Kant, manusia tidak dapat
mengetahui dunia hanya dengan nalar dan observasi. Kemampuan manusia
terbatas dalam memahami hakikat dunia, tetapi tidak berarti dunia tidak
dapat dipahami oleh manusia.[19]
Pengakuan keterbatasan ini dikemukakan Kant lewat teori kritiknya,
yaitu; usaha-usaha untuk meninjau batas-batas pengetahuan manusia lewat
realitas. Menurutnya realitas memiliki hal empirik dan transendental.
Sesuatu yang transendental adalah sesuatu yang pasti kebenarannya,
sehingga ia bersifat laten dan harus diterima tanpa ada kritikan. Oleh
karena itu ia berada di luar tapal batas pengetahuan manusia, yang oleh
khan disebut noumena. Akan tetapi yang transendental itu memililki
refleksi empirik, yaitu apa yang nampak sebagai citra dari noumena dan
dapat diketahui manusia sebagai fenomena.[20]
Pengetahuan
adalah tidak lebih dari sebentuk keputusan yang terdiri dari
pengetahuan apriori dan pengetahuan apestriori. Pengetahuan apriori
terlepas dari pengalaman yang disebut sebagai keputusan analitik.
Pengetahuan apestriori bersumber dari indera yang menghasilkan keputusan
sintesis.[21]
Menurut Khan, pengetahuan analitik tidak memajukan ilmu pengetahuan
karena penemuan-penemuan baru tidak dapat menemuikan jalan untuk
berhubungan untuk berhuungan dengan dunia materi. Sebaliknya pengetahuan
sintetis melalui indera tidak mempunyai validitas ilmiah karena indera
hanya berhubungan dengan sesuatu yang tunggal dan terpisah. Oleh karena
itu Khan mencoba meakukan terbosan baru yaitu adanya pernyataan sintetik yang bersifat opriori.[22]
Teori mengatakan bahwa benak manusia tidak hanya bersifat fassif
menerima data-data inderawi, tetapi justru aktif, memaksakan strukturnya
kedata-data inderawi.
Pemikiran
yang dikembangkan oleh Khan jelas memisahkan antara fenomena dan
neomena antara dunia materi dan dunia metafisika, serta antara akal dan
Tuhan. Manusia hanya akan mampu menangkap fenomena melalui dunia materi,
sedangkan nomena dan metafisika tidak dapat dipahami. Begitu pula
halnya akal dan kebebasannya, tidak mungkin memahami Tuhan sebab
paradigma ilahiyah hanya dapat diyakini melalui moral berdasarkan
perasaan.
4. Ide dan Paham Tuhan dalam Positivisme
Positivisme
lahir sebagai bagian penting epistemologi modern. Cara berpikir ini
dimulai di Prancis oleh seorang yang bernama Aguste Comte (1798-1857).[23]
Epistemologi ini adalah bentuk evolutif dari epistemologi yang
sebelumnya berkembang di Inggris yaitu empirisme. Positivisme adalah
empirisme yang membatasi dirinya pada panca indera.
Positivisme
mengembangkan klaim empirisme tentang pengetahuan secara ekstrim dengan
menyatakan bahwa puncak pengetahuan manusia adalah ilmu-ilmu
berdasarkan fakta keras (terukur dan teramati), ilmu-ilmu positif.
Menurut positivisme, filsafat bertugas menemukan prinsip ilmu
pengetahuan sebagai pemandu prilaku umat manusia sekaligus mengatur
kehidupan sosial masyarakat.[24]
Hal ini berarti masyarakat dipandang layaknya alam yang terpisah dari
subyek peneliti dan bekerja dengan hukum-hukum determinisme.
Positivisme
yang dipopulerkan oleh Aguste Comte akhirnya mendominasi wacana ilmu
pengetahuan pada awal abad 20-an yang kemudian menjadi filsafat ilmu
pengetahuan yang benar, yaitu; pertama, bebas nilai, subyek peneliti harus mengambil jarak dari semesta dan bersikap imparsial-netral. Kedua,
fenomenalisme, yaitu pengetahuan yang absah hanya berfokus pada
fenomena alam semesta, sehingga proposisi-propososi metafisika seperti
“keberadaan Tuhan” ditolak mentah-mentah karena ia adalah proposisi tak
berarti, tidak masuk akal, sebab tidak ada pembuktian indrawinya, oleh
karena itu Tuhan dan wacana-wacana spiritual dalam kacamata positivisme
dianggap nonsense. Ketiga, nominalisme. Kenyataan satu-satunya adalah individual partikuler, sedangkan unversalisme adalah penamaaan semata. Keempat, reduksionisme. Semesta direduksi menjadi fakta-fakta yang dapat dipersepsi. Kelima
naturalisme. Peristiwa-peristiwa alam adalah keteraturan yang
menisbikan penjelasan adikodrati. Keenam, mekanisme. Semua gejala-gejala
alam bekerja secara determinis-mekanis seperti mesin.[25]
Positivisme
dapat juga dianggap sebagai realisme naif, yaitu dunia yang ketahui
berada terlepas dari pengetahuan manusia terhadapnya. Manusia
mengetahui, sama sekali tidak dianggap sebagai aktor, tetapi seperti
robot yang tidak berhasrat sedikitpin, sehingga apapun yang
dilaporkannya adalah relaitas tanpa ada pengaruh dari kondisi subyektif,
oleh karena itu apapun yang bersikap subyektif, seperti pengalaman
spiritual, ide tentang tuhan, etika, keindahan akan ditolak oleh
positivisme.
Dominasi
positivisme sebagai epistemologi pengetahuan terus melancarkan
pengaruhnya hingga menjadi filsafat ilmu pengetahuan yang dominan.
Sekitar tahun 20-an tepatnya di Wina, Austria, epistemologi ini
berkembang mejadi positivisme logis dengan tokoh-tokoh pemikirnya yaitu,
M Schlick, Rudolph Caranap, Ph. Frank, V. Kraft, H. Feigl, F. Waisman,
H. Reichenback, dan lain-lain. Kelompok ini dikenal sebagai kelompok
ligkar Wina.[26] Aliran ini terus berkembang dan menjalar secara sangat pervasive di Ingris hingga meluas dalam konteks masyarakat Eropa.
5. Ide dan Paham Tuhan dalam Postmodernisme
Pada
tataran tertentu positivisme sebagai epistemologi yang memperkuat
kehadiran modernisme Eropa, menuai kritik akibat metodenya yang terlalu
kaku sehingga menimbulkan krisis metafisik di dunia Barat. Kritik
tersebut melahirkan era postmodernisme dengan tawaran-tawaran
epistemologi yang lebih variatif. Menurut Armahedi Mahzar, kelahiran
postmodernisme yang lair dari krisis dunia Barat, mempunyai dua sayap,
yaitu postrukturalisme Pluralistik, sebagai sayap kanan dan holisme
holistik sebagai sayap kiri.[27]
Munculnya kedua sayap ini adalah dampak dari meluasnya posistivisme
yang menawarkan ketunggalan wacana sebagai keharusan paradigma
obyektifitas pada semua dimensi kehidupan termasuk di dalamnya dimensi
sosial budaya. Prancis yang dihuni oleh budayawan humaniora lebih
banyak berkecimpung di bidang seni, cenderung menganut sayap kiri.
Sementara filosof Anglo-Saxson yang lebih terpengaruh oleh ilmu
kealaman, cenderung menganut sayap kanan.[28]
Postmodernisme sayap kiri mengusung semangat relativisme mutlak yang
bersikap dekonstruktif, mendapat reaksi dari sayap kanan postmodernisme
konstruktif Amerika yang menganut holisme saintifik.[29]
Seluruh pemikir sayap kanan menentang reduksionisme materialistik,
bahkan di tangan mereka holisme mendapat warna tradisi keagamaan timur.
Dengan demikian pergeseran epistemologi ilmu pengetahuan pada era
pascamodern menyebabkan adanya dialog yang mengarah pada terjadinya
kontak antara agama dengan ilmu pengetahuan.
Secara
umum perkembangan ide dan konsep ketuhanan pada periode ini mengalami
banyak kemajuan, terutama hubungan antara sains dan dunia spritual
lambat laun berdekatan dan bisa saling memahami secara paradigmatik.
Sekalipun capain ideal era ini belum dirasakan dominan namun masyarakat
Eropa telah mulai memasuki dimensi humanistiknya yang primordial.
sekalipun kemajuan ini nampaknya bersifat elitis, dan pengkhususan
paradigma ini nyatanya berlaku dalam bidang fisika atau natural sains,
sehingga tidak mampu memberikan dampak yang meluas pada wilayah yang
lain. Seharusnya kemajuan ini memberikan efek terhadap
kebijakan-kebijakan pengetahuan yang dihasilkan negara besar seperti
Amerika, tempat postmodernisme berkembang dalam bentuknya yang holistik.
Nyatanya, dunia Barat tetap saja berlaku tidak adil terhadap
unsur-unsur spiritual manusia dan tetap memelihara ruang pemisah antara
kebenaran fisik dan kebenaran metafisik.
- Penutup.
Perkembangan
ide dan paham ketuhanan boleh jadi berdasarkan evolusi pengetahuan
manusia yang bermula dari tahapan teologis (dinamisme, animisme,
polyteisme, hingga monoteisme) tahapan tersebut adalah perkembangan
evolutif.
Perkembangan ide dan paham ketuhanan mengalami dinamika luar biasa pada masa renaisan, yaitu
sebuah masa transisi pergesekan antara ilmu pengetahuan dan agama. Masa
transisi melahirkan beberapa konsep epistemologi yang melahirkan
paradigma metafisika yang bercorak dikotomis, antara ilmu pengetahuan
dan Agama. Corak epitemologi ini melahirkan ide dan konsep ketuhanan
kontemporer hingga masa sekarang.
Daftar Pustaka
Hans Khun, Freud and The Problem of God, (Sigmund Freud Vis as Vis Tuhan), Yogyakarta: Ircisod, 2001
Donny Gahral Adian, Menyoal Abyektivitas Ilmu Pengetahuan; Dari David Hume Hingga Thomas Khun, (Cet. II; Jakarta: Teraju, 2002
Harun Nasution, Filsafat Agama, Bulan Bintang,
Jalaluddin Rahmat. Bandung Rosda Karya. 1995
Nurckholis Madjid, Islam dan Doktrin Peradaban, Jakarta: Paramadinah, 2005
Rodliyah Khuzai, Dialog Epistemologi Muhammad Iqbal, (Cet. I; Bandung: Rafika Aditama, 2007 Kamus Ilmiah Populer (Cet. I; Surabaya: Arkola
Johan F. Haugh, Pejumpaan Sains dan Agama; Dari Konplik ke Dialog. (Cet. I; Bandung: Mizan, 2004
Kenneth T. Gallagher, The Fhilosofhy of Knowledge, alih bahasa, Hardono Hadi, Epistemologi, (cet v; Jogyakarta: Kanisius, 2002
Banbang Q. Anees dan Radea Julia Hambali, Filsafat Untuk Umum, (cet I; Jakarta: Prenada Media kencana, 2003
Muh Taqi Mishbah Yazdi, Fhilosophycal Introduktion, alih bahasa, Musa Kazim dan Saleh Bagir, Buku Daras Filsafat Islam (Cet. I; Bandung: Mizan, 2002
Aleks howard, Fhilosopy For Conselling And Psycotherapy, alih bahasa Benny Baskara, et.al, Konseling Dan Psikoterapi Cara Filsafat Dari Phitahoras Ingga Posmodern, (cet I; Bandung: Terauh, 2000).
Paul Stathern, alih bahasa, Frans Kowa, 90 Menit Bersama Khant, (Cet. I; Jakarta:: Erlangga, 2001
. Ben Agger, Teori-Teori Sosial Kritis, (Cet. I;Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2003
Armahedi Mahzar, Revolusi Integral Sains, (Cet. I; Bandung: Mizan, 2004
[1] Hans Khun, Freud and The Problem of God, (Sigmund Freud Vis as Vis Tuhan), Yogyakarta: Ircisod, 2001. H. 90
[3] Di kutip oleh Donny Gahral Adian, Menyoal Abyektivitas Ilmu Pengetahuan; Dari David Hume Hingga Thomas Khun, (Cet. II; Jakarta: Teraju, 2002)
[4] Dinamisme dari bahasa Yunani, dynamis-kekuatan, orang Melanesia meyebutnya mana’
yang berarti tuah’, mempunyai kakuatan, tidak dapat dilihat, tidak
memunyai tempat yang tetap, tidak mesti baik dan tidak mesti buruk,
terkadang tidak dapat dikontrol, kadang tapat di kontrol, dia adalah
kekuatan misterius. Harun Nasution, Filsafat Agama, Bulan Bintang, h. 23
[5] Animos,
sesuatu yang mempunyai jiwa. Kepercayaan bahwa segala sesuatu bernyawa,
realitas jiwa yang immanen, meliputi segala sesuatu, manusia, pohon,
batu, binatang dll. Lihat kamus filsafat, (ed) Jalaluddin Rahmat.
Bandung Rosda Karya. 1995
[7]Bertrand Russel dalam Rodliyah Khuzai, Dialog Epistemologi Muhammad Iqbal, (Cet. I; Bandung: Rafika Aditama, 2007), h. 23.
[8]Kontras-paradigmatik
dapat diartikan sebagai perbedaan yang tajam dalam sistem pemikiran.
Lihat A. Hius Hurwanto dan Dahlan Albary, Kamus Ilmiah Populer
(Cet. I; Surabaya: Arkola), h. 369 . Istilah ini juga dipakai oleh
John, F. Haught untuk menunjukkan salah satu model perjalanan interaksi
agama dengan ilmu pengetahuan. Johan F. Haugh, Pejumpaan Sains dan Agama; Dari Konplik ke Dialog. (Cet. I; Bandung: Mizan, 2004), h. xx-17.
[9]Lihat, Kenneth T. Gallagher, The Fhilosofhy of Knowledge, alih bahasa, Hardono Hadi, Epistemologi, (cet v; Jogyakarta: Kanisius, 2002), h. 28-29.
[12]Lihat, Hadi, op. cit, h. 40.
[13]Bambang Q. Anees, Banbang Q. Anees dan Radea Julia Hambali, Filsafat Untuk Umum, (cet I; Jakarta: Prenada Media kencana, 2003), h. 334.
[14]abid
[16]Hadi, op. cit. h. 135.
[17]Muh Taqi Mishbah Yazdi, Fhilosophycal Introduktion, alih bahasa, Musa Kazim dan Saleh Bagir, Buku Daras Filsafat Islam (Cet. I; Bandung: Mizan, 2002), h. 16.
[18]Rodliayah Khuzai, op. cit. h. 25.
[19] Aleks howard, Fhilosopy For Conselling And Psycotherapy, alih bahasa Benny Baskara, et.al, Konseling Dan Psikoterapi Cara Filsafat Dari Phitahoras Ingga Posmodern, (cet I; Bandung: Terauh, 2000). h. 275.
[20]Paul Stathern, alih bahasa, Frans Kowa, 90 Menit Bersama Khant, (Cet. I; Jakarta:: Erlangga, 2001). h.11.
[21]Dony Gahral, op, cit., h. 56-57.
[23]Muh Taqi Mizbah Yazdi, op. cit. h.19.
[24]Lihat, Donny Gahrial, op. cit. h. 65-66.
[26]Ben Agger, Teori-Teori Sosial Kritis, (Cet. I;Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2003), h. 27.
[27]Armahedi Mahzar, Revolusi Integral Sains, (Cet. I; Bandung: Mizan, 2004) h. 23-24.