Pengertian Psikologi Agama.
Psikologi agama menggunakan dua kata yaitu
psikologi
dan agama. Psikologi secara umum diartikan sebagai ilmu yang mempelajari gejala
jiwa manusia yang normal, dewasa dan beradab. (jalaluddin, et al,1979:77).
Sedangkan Menurut Robert H. Thouless, psikologi sekarang digunakan secara umum
untuk ilmu tentang tingkah laku dan pengalaman manusia (Robert
H.Thouless,1992:13).[1] Tetapi
dari definisi-definisi yang dikemukakan tersebut secara umum psikologi mencoba
meneliti dan mempelajari sikap dan tingkah laku manusia sebagai gambaran dari
gejala-gejala kejiawaan Karena jiwa itu sendiri
bersifat abstrak, maka untuk mempelajari kehidupan kejiwaan manusia
hanya mungkin dilihat dari gejala yang tampak, yaitu pada sikap dan tingkah
laku yang ditampilkannya.
Selanjutnya, agama
sebagai bentuk keyakinan, memang sulit diukur secara tepat dan rinci karena
agama menyangkut masalah yang berhubungan dengan kehidupan bathin manusia.
Tampaknya usaha untuk membuat definisi tentang agama tak ada gunanya, karena
hanya merupakan kepandaian bersilat lidah (Zakiah Drajat, 1970:23).[2] Pendapat
tersebut bukan berarti agama sama sekali tidak dapat dipahami melalui
pendekatan definitif. Karena itu, pengertian secara etimologis, harun nasution
tentang agama dapat memberikan gambaran tentang pengertian agama dan merumuskan
unsur-unsur penting yang terdapat di dalam agama tersebut.Secara definitif,
menurut Harun Nasution, agama adalah:
1. Pengakuan
terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan ghaib yang harus dipatuhi.
2. Pengakuan
terhadap adanya kekuatan ghaib yang menguasai manusia.
3. Mengikat
diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan pada suatu sumber yang
berada di luar diri manusia dan yang mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia.
4. Kepercayaan
pada suatu kekuatan ghaib yang menimbulkan cara hidup tertentu.
5. Suatu
sistem tingkah laku (code of conduct) yang berasal dari sesuatu kekuatan
ghaib.
6. Pengakuan
terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini bersumber pada suatu kekuatan
ghaib.
7. Pemujaan
terhadap kekuatan ghaib yang timbul dari perasaan lemah dan perasaan takut
terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam sekitar manusia.
8. Ajaran-ajaran
yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang rosul (Harun Nasution,
1974:10)[3]
Selanjutnya Harun
Nasution (1974:11) merumuskan ada empat unsur yang terdapat dalam agama, yaitu:
a. Kekuatan
ghaib, yang diyakini berada di atas kekuatan manusia. Didorong oleh kelemahan
dan keterbatasannya, manusia merasa berhajat akan pertolongan dengan cara
menjaga dan membina hubungan baik dengan kekuatan ghaib tersebut. Realisasinya
adalah sikap patuh terhadap perintah dan larangan ghaib itu.
b. Keyakinan
terhadap kekuatan ghaib sebagai penentu nasib baik dan buruk manusia. Dengan
demikian, manusia berusaha untuk menjaga
hubungan baik ini agar kesejahteraan dan kebahagiaannya terpelihara.
c. Respons
yang bersifat emosional dari manusia. Respons ini dalam realisasinya terlihat
dalam bentuk penyembahan, karena didorong oleh perasaan takut (agama primitip)
atau pemujaan yang didorong oleh perasaan cinta (monoteisme), serta bentuk cara
hidup tertentu bagi penganutnya.
d. Paham
akan adanya yang kudus (sacred) dan suci. Sesuatu yang kudus dan suci ini
adakalanya berupa kekuatan ghaib, kitab yang berisi ajaran agama maupun
tempat-tempat tertentu.[4]
Robert H. Thouless
berpendapat bahwa psikologi agama adalah cabang dari psikologi yang bertujuan
mengembangkan pemahaman terhadap perilaku keagamaan dengan mengaplikasikan
prinsip-prinsip psikologi yang dipungut dari kajian terhadap perilaku bukan
keagamaan (1992:25).[5] Menurut
Zakiah Drajat, psikologi agama meneliti dan menelaah kehidupan beragama pada
seseorang dan mempelajari berapa besar pengaruh keyakinan agama itu dalam sikap
dan tingkah laku serta keadaan hidup pada umumnya. Disamping itu, psikologi
agama juga mempelajari pertumbuhan dan perkembangan jiwa agama pada seseorang,
serta factor-faktor yang mempengaruhi keyakinan tersebut (1970:11).[6]
Psikologi agama dengan demikian merupakan cabang
psikologi yang meneliti dan mempelajari tingkah laku manusia dalam hubungan
dengan pengaruh keyakinan terhadap agama yang dianutnya serta dalam kaitannya
dengan perkembangan usia masing-masing. Upaya untuk mempelajari tingkah laku
keagamaan tersebut dilakukan melalui pendekatan psikologi. Jadi penelaahan
tersebut merupakan kajian empiris.
Obyek / Ruang Lingkup Psikology Agama.
Sebagai disiplin ilmu
yang otonom, psikologi agama memiliki ruang lingkup pembahasannya tersendiri
yang dibedakan dari disiplin ilmu yang mempelajari masalah agama yang lainnya.
Sebagai contoh, dalam tujuannnya psikologi agama dan ilmu perbandingan agama
memiliki tujuan yang tak jauh berbeda, yakni mengembangkan pemahaman terhadap
agama dengan mengaplikasikan metode-metode penelitian yang bertipe bukan agama
dan bukan teologis. Bedanya adalah, bila ilmu perbandingan agama cenderung
memusatkan perhatiaannya pada agama-agama primitif dan eksotis tujuannya adalah
untuk mengembangkan pemahaman dengan memperbandingkan satu agama dengan agama
lainnya. Sebaliknya psikologi agama, seperti pernyataan Robert H Thouless,
memusatkan kajiannya pada agama yang hidup dalam budaya suatu kelompok atau
masyarakat itu sendiri. Kajiannya terpusat pada pemahaman terhadap perilaku
keagamaan tersebut dengan menggunakan pendekatan psikologi (Robert H Thouless,
1992:25).[7]
Berkenaan dengan hal
ini, lebih lanjut, Zakiah Daradjat (1970:12-15) menyatakan bahwa lapangan
penelitian psikologi agama mencakup proses beragama, perasaan dan kesadaran
beragama dengan pengaruh dan akibat-akibat yang dirasakan sebagai hasil dari
keyakinan agama yang dianut.[8] Oleh karena itu,
menurut Zakiah Daradjat, ruang lingkup kajian psikologi agama meliputi:
1. Bermacam-macam
emosi yang menjalar di luar kesadaran yang ikut menyertai kehidupan beragama
orang biasa (umum), seperti rasa lega dan tentram sehabis shalat; rasa lepas
dari ketegangan bathin sesudah berdoa atau membaca ayat-ayat suci; perasaan
tenang, pasrah dan menyerah setelah berdzkir dan ingat kepada allah ketika
mengalami kesedihan dan kekecewaan.
2. Bagaimana
pengalaman dan perasaan seseorang secara individual terhadap tuhannya, misalnya
rasa tentram dan kelegaan bathin.
3. Mempelajari,
meneliti dan menganalisis pengaruh
kepercayaan akan adanya hidup sesudah mati (akhirat) pada tiap-tiap orang.
4. Meneliti dan
mempelajari kesadaran dan perasaan orang terhadap kepercayaan yang berhubungan
dengan syurga dan neraka, serta dosa dan pahala yang turut member pengaruh
terhadap sikap dan tingkah lakunya dalam kehidupan.
5. Meneliti dan
mempelajari bagaimana pengaruh penghayatan seseorang terhadap ayat-ayat suci
untuk kelegaan bathinnya.
Semuanya itu menurut Zakiah
Daradjat tercakup dalam kesadaran agama (religious counsciousness) dan
pengalaman agama (religious experience). Yang dimaksud dengan kesadaran
agama adalah bagian /segi agama yang hadir (terasa) dalam pikiran yang
merupakan aspek menthal dari aktivitas agama. Sedangkan pengalaman agama adalah
unsur perasaan dalam kesadaran beragama, yaitu perasaan yang membawa kepada
keyakinan yang dihasilkan oleh tindakan (amaliah). Karenanya, psikologi agama
tidak mencampuri segala bentuk permasalahan yang menyangkut pokok keyakinan
suatu agama, termasuk tentang benar salahnya atau masuk akal dan tidaknya
keyakinan agama (1970:12-15).[9]
Dengan demikian psikologi
agama menurut Zakiah Daradjat adalah mempelajari kesadaran agama pada seseorang
yang pengaruhnya terlihat dalam kelakuan dan tindak agama orang itu dalam
hidupnya (1970:15).[10]
Persoalan pokok dalam psikologi agama adalah kajian terhadap kesadaran agama
dan tingkah laku agama, (kata Robert H. Thouless: 11).[11]
Hasil kajian psikologi
agama tersebut ternyata dapat dimanfaatkan dalam berbagai lapangan kehidupan
seperti untuk kepentingan politik, misalnya; dalam upaya mempertahankan polotik
penjajahan Belanda di tanah air. Di bidang industri, ajaran agama mengandung nilai-nilai
moral yang dapat menyadarkan para buruh / buruh dari perbuatan yang tak terpuji
dan merugikan perusahaan. Dalam membangun negaranya, unuk membangkitkan
perasaan dan kesadaran beragama. Dalam bidang psikoterapi, pengobatan pasien di
rumah-rumah sakit dan penyuluhan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan. Demikian
pula dalam lapangan pendidikan psikologi agama dapat difungsikan pada pembinaan
moral dan mental keagamaan peserta didik.
Sejarah Perkembangan Psikologi Agama
Untuk menetapkan secara
pasti kapan psikologi agama mulai dipelajari memang terasa agak sulit. Baik
dalam kitab suci maupun sejarah tentang agama-agama tidak terungkap secara
jelas mengenai hal itu. namun demikian, walaupun tidak secara lengkap, ternyata permasalahan yang menjadi ruang lingkup kajian psikologi
agama banyak dijumpai baik melalui informasi kitab suci maupun sejarah agama.
Zakiah Daradjat
(1970:12-13) menyatakan bahwa yang mula-mula berani mengemukakan hasil
penelitiannya secara ilmiah tentang agama ialah Flazer dan Taylor. Mereka
mengungkap berbagai macam agama primitif dan menemukan persamaan yang sangat
jelas antara berbagai bentuk peribadatan dan peribadatan pada orang-orang
Primitif, seperti pengorbanan karena dosa warisan, keingkaran, hari berbangkit
dan sebagainya. Hasil penelitian Frezer dan taylor tersebut telah membangkitkan
perhatian ahli-ahli untuk memandang agama sebagai suatu aspek yang dapat
diteliti dan dipelajari sebagaimana aspek-aspek lain dalam kehidupan manusia.
Sementara itu,
Jalaluddin (2004:29) yang mengutip pernyataan Robert H Thouless (1992:29)
mengemukakan bahwa, menurut sumber barat, para ahli psikologi agama menilai
bahwa kajian psikologi agama mulai popular sekitar akhir abad ke-19. Sekitar masa
itu, psikologi yang semakin berkembang digunakan sebagi alat untuk kajian
agama.[12]
Menurut Robert H.
Thouless, yang dikutip Jalaluddin
(2004:29-31),sejak terbitnya buku the
varieties of religious experience
tahun 1903, sebagai kumpulan dari materi kuliah William James di tempat
universitas di Skotlandia, langkah awal dari kajian psikologi agama mulai
diakui para ahli psikologi dan dalam jangka waktu tiga puluh tahun berikutnya,banyak
buku lain diterbitkan sejalan dengan konsep-konsep yang serupa.[13] Diantara
buku-buku tersebut adalah The Psychology
of religion karangan E.D Starbuck, yang mendahului karangan williams
james.buku E.D Starbuck yang terbit tahun 1899 ini kemudian disusul sejumlah
buku yang lainnya seperti the spiritual
Life oleh george Albert Coe, tahun 1900, kemudian the Belief in God and immortality 1921, oleh J.H Leuba dan oleh
Robert H Thouless, dengan judul An
Introduction, tahun 1923 serta R.A. Nicholson yang khusus mempelajari
aliran sufisme dalam islam dengan bukunya Studies
in Islamic Mysticism, tahun 1921.
Sejalan dengan
perkembangan itu, para penulis non-barat pun mulai menerbitkan buku-buku
mereka. Tahun 1947 terbit buku the song
of God Baghavad Gita, terjemahan isherwood
dan Prabhavananda, kemudian tahun
1952 Swami Madhavananda menulis buku viveka chumadami of sancaracharya yang
disusul oleh penulis India lainnya, Thera Nyanoponika dengan judul The Life of
Sariptta 1966. Demikian pula, Swami Ghananada menulis tentang Sri Rama dengan
judul Sri Ramakrisna, His Unique
Massage 1946.
Di tanah air sendiri
tulisan mengenai psikologi agama ini baru dikenal sekitar tahun 1970-an, yaitu
oleh Prof. Dr. Zakiah Daradjat. Ada sejumlah buku yang beliau tulis untuk
kepentingan buku pegangan bagi mahasiswa di lingkungan IAIN. Diluar itu, kuliah
mengenai psikologi agama juga sudah diberikan, khususnya di Fakultas Tarbiyah
oleh Prof. Dr. A. Mukti Ali dan Prof. Dr. Zakiah Daradjat sendiri. Kedua orang
ini dikenal sebagai pelopor pengembangan
psikologi agama di IAIN di Indonesia.
Di luar itu, ada
sejumlah tulisan yang berkaitan dengan psikologi agama ini. Tulisan tersebut
dikembangan di lingkungan bidang kedokteran seperti yang dilakukan oleh Prof.
Dr. Aulia maupun K.H. SS. Djam’an yang melakukan pendekatan dengan menggunakan
ajaran agama Islam. Sedangkan, di bidang akademik tulisan-tulisan mengenai
psikologi agama banyak dihasilkan oleh karangan gereja katolik.
Seperti dimaklumi,
bawha psikologi agama tergolong cabang psikologi yang berusia muda, ilmu yang
berdiri sendiri memiliki latar belakang sejarah yang cukup panjang. Selain itu,
pada tahap-tahap awalnya psikologi agama di dukung oleh para ahli dari berbagai
displin ilmu.
Sebagai displin ilmu
boleh dikatakan, psikologi agama dapat dirujuk dari karya penulis Barat, antara
lain karya Jonathan Edward, Emile Durcheim, Edward B. Taylor maupaun stanley
Hall yang memuat kajian mengenai agama dan suku-suku primitif dan mengenai
konversi agama. Sebaliknya, di dunia timur, khususnya di wilayah-wilayah
kekuasaan islam, tulisan-tulisan yang memuat kajian tentang hal serupa belum
sempat dimasukkan. Padahal, tulisan Muhammad Ishaq ibn Yasar di abad ke 7
Masehi berjudul Al-Syi’ar wa al-maghazi
memuat berbagai fragmen dari biografi
Nabi Muhammad saw. (ensiklopedi Islam, 1992:361) ataupun Risalah Hayy Ibn yaqzan fi Ashrar al-Hikmat
al-masyriqiyyat yang di tulis oleh Abu Bakar Muhammad ibn Abd Al-Malin Ibn
Tufail (1106-1185 M).
Demikian pula karya
besar Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali (1059-1111 M) berjudul Ihya’ ‘ulum al-Din, dan juga bukunya Al-Munqidz min al-Dhalal (penyelamat dari kesesatan) sebenarnya, kaya
akan akan muatan permasalahan yang berkaitan dengan materi kajian psikologi
agama. Diperkirakan masih banyak tulisan-tulisn ilmuan muslim yang berisi
kajian mengenai permasalahan serupa, namun sayangnya karya-karya tersebut tidak
sempat dikembangkan menjadi disiplin ilmu tersendiri, yaitu psikologi agama
seperti halnya yang dilakukan oleh kalangan ilmuan barat.
Ada beberapa alasan
yang dapat dijadikan penyebab. Pertama,
sejak kemunduran Negara-negara Islam, perhatian ilmuan terhadap kepentingan
perkembangan ilmu pengetahuan mulai menurun, karena bagaimanapun pengembangan
ini memerlukan biaya yang cukup banyak. Kedua,
sejak penyerangan bangsa mongol ke pusat peradaban Islam (Baghdad) dan
kekalahan Islam di Andalusia, terjadi pemusnahan karya para ilmuan muslim.
Ketiga,
sikap kurang terpuji dari para ilmuan barat sendiri (terutama setelah zaman
kemunduran islam) yang umumnya kurang menghargai karya-karya ilmuan muslim.
Seperti tulisan Nurcholish Madjid, ummat Islam yang telah dikalahkan oleh
bangsa-bangsa Eropa (barat) adalah ummat yang dikagumi dan ditakuti namun, juga
dibenci (Nurcholish Madjid, 1984:55). Keempat,
karya-karya ilmuan muslim dizaman klasik umumnya, ditulis oleh para ilmuan yang
dizamannya dikenal dengan sebutan yang berkonotasi keagamaan seperti mufassirin
(ahli tafsir), muhaddisin (ahli hadits), fuqhaha (ahli fiqih), ataupun ahl
al-hikmat (filosof). Dengan demikian, karya-karya mereka diidentikan dengan
ilmu-imu yang murni agama (islam) atau filsafat.[14]
Lebih jauh, Marshall
G.S Hodgson melihat hal itu disebabkan oleh faktor intern umat Islam sendiri.
Menurutnya, masyarakat islam gagal memelopori kemodernan karena tiga hal,
yaitu: 1) konsentrasi yang kelewat besar pada penanaman modal harta dan manusia
pada bidang-bidang tertentu; 2) kerusakan hebat baik material maupun mental
psikologis, akibat serbuan biadab bangsa Mongol; dan 3) kecmerlangan peradaban
islam sebagai suatu bentuk pemuncakan abad agrarian membuat kaum muslim tidak
pernah secara mendesak merasa perlu kepada peningkatan yang lebih tinggi.[15]
Setelah zaman
kemunduran umat Islam secara politis, kemajuan dan perkembangan ilmu
pengetahuan dan tekhnologi dipelopori oleh barat. Dengan demikian, tidak
mengherankan jika- ilmu-ilmu modern, termasuk psikologi agama tumbuh dan
berkembang sebagai sebuah disiplin ilmuyang independen, yang diakui terinformasikan
sebagai produk ilmuan barat. Dan baru Negara-negara Islam terbebas dari
kungkungan penjajah barat, secara bertahap muncul karya-karya ilmuan muslim.
Karya penulis Muslim di
zaman modern, seperti buku Al-Maghary yang berjudul Tatawwur al-Syu’ur al-Diny ‘Inda Tifl wa al-Murahiq (perkembangan
Rasa Keagamaan pada Anak dan Remaja), bagaimana pun dapat disejajarkan dengan karya-karya yang dihasilkan oleh ahli-ahli
psikologi agama lainnya. Selain itu juga,bukunya yang mulai mengkhusus kepada disiplin ilmu tertentu, seperti Al-Nummuwu al-Nafsy (perkembangan
kejiwaan). Kedua karya itu masing- masing diterbitkan tahun 1955-1957.
Karya lain yang lebih
khusus mengenai psikologi agama adalah Ruh
al-Din al-Islamy (jiwa agama islami) karangan Alif Abd Al-Fatah, tahun
1956. Demikian pula pada tahun 1963 terbit buku Al-Shihab al-Nafsiyah karangan Moustafa Fahmi. (Jalaluddin dan
Ramayulis, 1994:10). Dan banyak lagi karya-karya ilmuan muslim tentang
psikologi agama. Tetapi berdasarkan konteks kejiwaan, barangkali buku Tatawwur al-Syu’ur al-Diny ‘Inda Tifl wa
al-Murahiq karya Abd Mun’im Abd Al-‘Aziz Al-Maghary, dapat dianggap sebagai
awal dari munculnya kajian psikologi agama dikalangan ilmuan muslim modern.
Sejak menjadi disiplin
ilmu sendiri, perkembangan pikologi agama dinilai cukup pesat, dibandingkan
usianya yang masih tergolong muda. Hal ini anara lain disebabkan bidang kajian
psikologi agama mencakup pemasalahan yang menyangkut perkembangan usia manusia,
dan ternyata psikologi agamatermasuk ilmu terapan yang banyak manfaatnya dalam
kehidupan sehari-hari. Tampaknya, para ilmuan dan agamawan yang semula
berselisih pendapat mengenai psikologi agama, kini seakan menyatu dalam
kesepakatan yang tak tertulis, bahwa dalam kehidupan modern ini, peran agama
sangat penting. Dan pendekatan psikologi agama dapat digunakan dalam memecahkan
berbagai problema kehidupan yang dihadapi manusia sebagai makhluk yang memiliki
nilai-nilai peradaban dan nilai moral.
Psikology agama
menggunakan dua kata yaitu psikology dan agama. Psikologi secara umum diartikan
sebagai ilmu yang mempelajari gejala jiwa manusia yang normal, dewasa dan
beradab. (jalaluddin, et al,1979:77). secara umum psikologi mencoba meneliti
dan mempelajari sikap dan tingkah laku manusia sebagai gambaran dari
gejala-gejala kejiawaan Karena jiwa itu sendiri
bersifat abstrak, maka untuk mempelajari kehidupan kejiwaan manusia
hanya mungkin dilihat dari gejala yang tampak, yaitu pada sikap dan tingkah
laku yang ditampilkannya.
Robert H. Thouless
berpendapat bahwa psikologi agama adalah cabang dari psikologi yang bertujuan
mengembangkan pemahaman terhadap perilaku keagamaan dengan mengaplikasikan
prinsip-prinsip psikologi yang dipungut dari kajian terhadap perilaku bukan
keagamaan (1992:25). Menurut Zakiah Daradjat, psikologi agama meneliti dan
menelaah kehidupan beragama pada seseorang dan mempelajari berapa besarpengaruh
keyakinan agama itu dalam sikap dan tingkah laku serta keadaan hidup pada
umumnya. Disamping itu, psikologi agama juga mempelajari pertumbuhan dan
perkembangan jiwa agama pada seseorang, serta factor-faktor yang mempengaruhi
keyakinan tersebut (1970:11).
Berkenaan dengan hal
ini, lebih lanjut, Zakiah Daradjat (1970:12-15) menyatakan bahwa lapangan penelitian
psikologi agama mencakup proses beragama, perasaan dan kesadaran beragama
dengan pengaruh dan akibat-akibat yang dirasakan sebagai hasil dari keyakinan
agama yang dianut. Oleh karena itu, menurut Zakiah Drajat, ruang lingkup kajian
psikologi agama meliputi:
1.
Bermacam-macam
emosi yang menjalar di luar kesadaran yang ikut menyertai kehidupan beragama
orang biasa (umum), seperti rasa lega dan tentram sehabis shalat; rasa lepas
dari ketegangan bathin sesudah berdoa atau membaca ayat-ayat suci; perasaan
tenang, pasrah dan menyerah setelah berdzkir dan ingat kepada allah ketika
mengalami kesedihan dan kekecewaan.
2.
Bagaimana
pengalaman dan perasaan seseorang secara individual terhadap tuhannya, misalnya
rasa tentram dan kelegaan bathin.
3.
Mempelajari,
meneliti dan menganalisispengaruh kepercayaan akan adanya hidup sesudah mati
(akhirat) pada tiap-tiap orang.
4.
Meneliti dan
mempelajari kesadaran dan perasaan orang terhadap kepercayaan yang berhubungan
dengan syurga dan neraka, serta dosa dan pahala yang turut member pengaruh
terhadap sikap dan tingkah lakunya dalam kehidupan.
5.
Meneliti dan
mempelajari bagaimana pengaruh penghayatan seseorang terhadap ayat-ayat suci
untuk kelegaan bathinnya.
Zakiah Daradjat
(1970:12-13) menyatakan bahwa yang mula-mula berani mengemukakan hasil
penelitiannya secara ilmiah tentang agama ialah Flazer dan Taylor. Mereka
mengungkap berbagai macam agama primitif dan menemukan persamaan yang sangat
jelas antara berbagai bentuk peribadatan dan peribadatan pada orang-orang
Primitif, seperti pengorbanan karena dosa warisan, keingkaran, hari berbangkit
dan sebagainya. Hasil penelitian Frezer dan taylor tersebut telah membangkitkan
perhatian ahli-ahli untuk memandang agama sebagai suatu aspek yang dapat
diteliti dan dipelajari sebagaimana aspek-aspek lain dalam kehidupan manusia.
Sementara itu,
Jalaluddin (2004:29) yang mengutip pernyataan Robert H Thouless (1992:29)
mengemukakan bahwa, menurut sumber barat, para ahli psikologi agama menilai
bahwa kajian psikologi agama mulai popular sekitar akhir abad ke-19. Sekitar
masa itu, psikologi yang semakin berkembang digunakan sebagi alat untuk kajian
agama.
Daftar Bacaan
·
Jalaluddin, H.
Prof. Dr. (Ed. Rev,-9). Psikologi Agama, Jakarta, PT.Raja Grafindo Persada,
2005.
·
Arifin Syamsul
Bambang, M.Si. Drs. (Ed. 1). Psikologi Agama, Bandung, CV. Pustaka Setia, 2008.