by mutawalli
Masalah
yang sedang dihadapi umat Islam pada zaman sekarang merupakan masalah
yang sangat serius. Disamping masalah pemikiran, problem tentang
ketuhanan pun menjadi tantangan yang harus di hadapi oleh umat Islam.
masalah dan problem tersebut tidak lepas dari peranan bangsa Barat yang
sangat gencar mempengaruhi pemikiran umat Islam. berbagai bidang ilmu
pengetahhuan barat banyak dimasukan bahkan diaplikasikan dalam keilmuan
Islam, diantaranya tentang teologi.
Islam
merupakan agama yang mempunyai peradaban ilmu paling maju dan banyak
memberikan kontribusi kepada perkembangan ilmu pengetahuan yang ada di
Barat. Dalam khazanah ilmu pengetahuan Islam sendiri, terdapat banyak
macam bidang ilmu yang merupakan produk asli agama Islam. diantara
bidang – bidang ilmu tersebut adalah Ilmu Kalam atau istilah lain adalah teologi dan para teolog Islam biasa disebut dengan mutakallimin atau ahli kalam. Disebut Ilmu Kalam karena ilmu ini membahas tentang kalam atau wahyu Tuhan.
Adapun kata teologi, merupakan istilah yang diambil dari Yunani dan terdiri dari dua kata yaitu theos yang berarti Tuhan dan logos
yang berarti ilmu. Jadi, teologi merupakan ilmu tentang Tuhan atau ilmu
ketuhanan. Adapun pokok pembahasan yang ada dalam teologi adalah Tuhan
dan segala sesuatu yang berkaitan dengan-Nya.[1]
Aliran Teologi dalam Islam
Beberapa
aliran yang membahas tentang teologi atau ilmu kalam dalam Islam sangat
banyak, diantara aliran – aliran tersebut adalah Khawarij, Jabbariyah,
Qadariyah, Syi’ah, Murji’ah, dan Mu’tazilah. Aliran Khawarij berpendapat
bahwa mereka mensucikan Dzat Ilahiayah dan menolak sifat – sifat Allah,
maka dari itu mereka menyatakan bahwa sifat merupakan Dzat itu sendiri.[2]
Adapun aliran Jabbariyah berpandangan bahwa mereka menolak sifat Kalam
bagi Allah SWT, karena Kalam merupakan sifat dari makhluk.[3]
Selain
dua aliran tersebut ada beberapa aliran yang lain dalam memandang
masalah ketuhanan dalam Islam atau ilmu kalam. Aliaran tersebut dalah
aliran Mu’tazilah yang didirikan oleh Wasil bin Atho’. Dalam masalah
ketuhanan mereka mempunyai konsep sendiri, konsep tersebut biasa disebut
dengan Al-Usul Al-Khamsah yaitu Tauhid, Al-‘Adlu, Al-Wa’du wa Al-Wa’id, Al-Manzil baina Manzilatain dan Al-Amru bil Ma’ruf wa An-Nahyu ‘An Al-Munkar. Dalam salah satu konsepnya yaitu Tauhid, mereka berbicara banyak tentang ketuhanan. Diantara pendapatnya yaitu الصفات عين الذات: artinya bahwa sifat Allah tidak terpisah dari dzat-Nya. Untuk mempertegas konsepnya ini, Mu’tazilah menjelaskan bahwa الله عالم بالعلم هو هو artinya Allah Maha Mengetahui dengan ilmu-Nya, sifat ilmu adalah dzat-Nya.[4]
Banyak para ulama yang tidak setuju dengan pendapat yang dimilki oleh Mu’tazilah. Al-Asy’ari membuat rumusan yang lain yaitu الصفات قائمة بالذات أزلية atau diringkaskan لا هي هو ولا هي غيره artinya bahwa sifat – sifat ilahiyah itu bukan dzat-Nya, dan bukan selain dzat-Nya.[5] Dari pernyataan tersebut timbul pertanyaan, apakah sifat – sifat ilahiyah itu ain dzat, atau di luar dari dzat? Al-Syahrastani menjawab dengan menampilkan perkataan Al-Asy’ari dengan konsepnya yaitu هي هو, ولا غيره, ولا ولاهو, ولا لا غيره artinya sifat adalah dzat dan bukan yang lainnya, bukan bukan, Ia bukan yang lain.[6]
Aliran – Aliran Dalam Konsep Ketuhanana
Sebelum
memasuki kedalam permasalahan tentang ketuhanan, ada baiknya kita
sedikit banyak membahasah tentang beberapa aliran dalam konsep ketuhanan
yang telah berkembang dari satu fase ke fase yang lain. Diantara aliran
tersebut adalah Teisme, Tuhan menurut aliran ini berada di alam atau immanent dan Dia juga jauh dari alam atau transendent. Adapun
ciri lain dari teisme adalah mereka menegaskan bahwasannya Tuhan
setelah proses penciptaan alam selesai, Dia tetap aktif dan selalu
memelihara alam. Agama – agama besar pada dasarnya penganut paham
teusme, seperti Yahudi, Kristen, dan Islam.[7]
Tokoh Kristen yang mengemukakan gagasan ini ialah St. Augustinus.
Menurutnya, Tuhan ada dengan sendirinya (self – existing), tidak
diciptakan, tidak berubah, abadi, bersifat personal yang terdiri dari
tiga person, yaitu Bapak, Anak dan Roh kudus.[8]
Konsep teisme dalam Islam dijelaskan oleh Al-Ghazali. Menurutnya, Allah
adalah Zat yang Esa dan pencipta alam serta berperan aktif dalam
mengendalikan alam. Yang dimaksud Esa menurutnya adalah kembali kepada
penetapan dzat-Nya.[9] Dalam Al-Qur’an banyak ayat yang menjelaskan tentang Tuhan yang Esa, diantaranya QS 112: 1 yang artinya “Katakanlah wahai Muhammad, Dia (Allah) adalah satu”. Adapun ayat yang menunjukkan bahwa Allah bersifat transendent dan immanent adalah QS 10: 3 yang artinya “Sesungguhya
Tuhan kamu adalah Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dalam enam
masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy untuk mengatur semua urusan”
Aliran dalam konsep ketuhanan yang berikutnya adalah Deisme. Menurut
paham ini,Tuhan berada jauh di luar alam dan setelah menciptakan alam,
Dia tidak memperhatikan alam dan memeliharanya lagi. Alam berjalan
sesuai dengan peraturan – peraturan yang telah sempurna yang telah
ditetapkan ketika proses penciptaan dan peraturan – peraturan tersebut
tidak berubah – ubah. Tokoh yang mempelopori munculnya aliran ini ialah
Newton (1642-1727). Menurutnya, Tuhan hanya pencipta alam dan apabila
ada kerusakan, alam tidak membutuhkan Tuhan untuk memperbaikinya karena
alam sudah memiliki mekanisme sendiri untuk menjaga keseimbangan.[10]
Aliran yang selanjutnya adalah Panteisme.
Aliran ini berpendapat bahwa seluruh alam ini adalah Tuhan dan Tuhan
adalah seluruh alam, termasuk benda –benda yang bisa ditangkap oleh
panca indra seperti manusia, binatang, tumbuh –tumbuhan, dan benda mati
adalah bagian dari Tuhan. Dalam agama Islam, paham ini biasa disebut
dengan Wihdatut al-wujud (kesatuan wujud) yang dikenalkan oleh Ibnu al-‘Arabi. Disamping memiliki
persamaan, keduanya juga memiliki perbedaan, yaitu dalam panteisme alam
adalah Tuhan dan Tuhan adalah alam akan tetapi dalam wihdat al-wujud alam bukan Tuhan tetapi bagian dari Tuhan. Bisa disimpulkan bahwa dalam wihdat al-wujud alam dan Tuhan tidak identik, sedangkan dalam panteisme alam dan Tuhan identik.[11]
Keraguan Terhadap Eksistensi Tuhan
Pada
Zaman Pertengahan yaitu antara abad lima belas dan enam belas Masehi,
agama Kristen sangat mendominasi bangsa Barat. Dengan sangat
otoriternya, mereka menindak para ilmuwan yang berbeda pendapat dengan
doktrin Gereja. Diantara para ilmuwan tersebut ialah Nicolaus Copernicus
(1473 – 1543) dengan teorinya tentang heliocentris. Dia
mengatakan bumi berputar pada porosnya, bahwa bulan berputar
mengelilingi matahari dan bumi, serta planet-planet lain semuanya
berputar mengelilingi matahari.[12]
Akan tetapi teori Copernicus tersebut sangat bertentangan dengan
doktrin yang ada dalam ajaran Gereja pada saat itu. Gereja berpendapat
bahwa pusat dari tata surya ini adalah bumi atau biasa disebut dengan geocentris.
Tepat pada tanggal 24 Mei 1543, Copernicus dijatuhi hukuman mati oleh
Gereja karena teorinya bertentangan dengan ajaran Gereja.[13]
Setelah Zaman Pertengahan atau yang biasa disebut dengan Zaman Kegelapan (Dark Ages), muncul periode Pencerahan (Renaissance).
Pada periode ini, berbagai ilmu di Barat banyak berkembang dan juga
periode ini menandakan awal dari Zaman Modern. Adalah David Hume
(1711–1776) tokoh filsafat barat yang yang mengembangkan filsafat
Empirisme. Dia berpendapat bahwa manusia tidak perlu mengunyah tafsiran
ilmiah tentang realitas serta alasan filosofis untuk mempercayai sesuatu
di luar jankauan indra dan Hume membuang argumen yang berusaha
membuktikan eksistensi Tuhan dari ketertataan alam, dengan menyatakan
bahwa hal itu didasarkan pada argumen analogis yang tidak konklusif.[14] Dengan kata lain, Hume menolak hukum Kausalitas seperti adanya alam ini disebabkan oleh adanya Tuhan.
Selain
Empirisme, filsafat Positivisme yang dikembangkan oleh August Comte
(1798–1857) pun mempunyai pengaruh besar di Zaman Modern. Menurut Comte,
sejarah perkembangan alam pikir manusia terdiri dari tiga tahap, yaitu
tahap teologik, tahap metaphisik, dan tahap positif.[15]
Dalam pandangannya tentang Tuhan, Comte mempunyai pendapat bahwa agama
atau Tuhan tidak bisa dilihat, diukur dan dibuktikan, maka Tuhan tidak
mempunyai arti dan faedah karena suatu pernyataan akan dianggap benar
oleh positivisme apabila pernyataan itu sesuai dengan fakta.[16]
Ludwig Andreas Feuerbach (1804-1872) yang sepaham dengan Comte memiliki
pandangan yang lebih positif tentang manusia, ia ingin mencampakan
Tuhan yang telah menyebabkan menyebarnya rasa putus asa di masa silam.[17]
Karl
Heinrich Mark (1818–1883) tokoh Materialisme dan pencetus Komunisme,
memandang agama sebagai desahan makhluk yang tertekan dan candu
masyarakat. Selain itu, Mark menegaskan bahwa kepercayaan kepada Tuhan
atau dewa – dewa adalah lambang kekecewaan atas kekalahan dalam
perjuangan kelas. Kepercayaan tersebut adalah sikap yang memalukan yang
harus dienyahkan, bahkan dengan cara paksaan.[18] Dia sendiri mengaku sebagai seorang ateis yang radikal dengan mengatakan “saya membenci segala Tuhan”.[19]
Tokoh yang lebih ekstim dalam memandang Tuhan selain Mark adalah
Friedrich Wilhelm Nietzsche (1844–1900). Keyakinan yang mendasari
Nietzsche adalah bahwa Tuhan telah mati dan segala dewata sudah mati,
hanya manusia ataslah yang masih hidup.[20]
Dia mengumumkan ini dalam tamsil tentang orang gila yang berlari ke
pasar pada suatu pagi, meneriakan, “aku mencari Tuhan!” ketika seorang
penonton dengan pongah bertanya ke mana menurutnya Tuhan pergi, apakah
Dia melarikan diri atau mungkin pindah?, orang gila itu menatap tajam
kearah mereka. “‘Kemana Tuhan pergi?’ dia bertanya.’aku ingin mengatakan
kepada kalian, kita telah membunuhnya – aku dan kalian! Kita semua
adalah pembunuhnya!”.[21]
Suatu Kesimpulan
Setelah
mengenal sedikit banyak tentang aliran - aliran teologi dalam Islam dan
beberapa aliran konsep ketuhanan serta pendapat para tokoh Barat dalam
memandang Tuhan, maka kita akan mengetahuhi bagaimana konsep ketuhanan
yang begitu komplek yang ada dalam Islam dengan berbagai pendapat yang
ada di dalamnya, serta pengertian – pengertian dalam konsep ketuhanan
yang telah berkembang dari satu fase ke fase yang lainnya dan keraguan
serta penolakan terhadap Tuhan. Semuanya menjadi sebuah keberagaman
dalam memandang wujud Tuhan. Islam dengan aliran – aliran Kalam dan
perbedaan pendapat di dalamnya, mampu mempersatukan umat dibawah naungan
ke-Esaan Allah SWT. Teisme, Deisme dan Panteisme mampu memberikan
contoh dari pengertian dalam konsep ketuhanan kepada umat Islam agar
bisa membedaka satu dengan yang lainnya.
Berbagai disiplin ilmu serta paham ideologi yang berkembang di
Barat banyak ditawarkan kepada umat Islam, menjadi sebuah tantangan
dalam memahami arti dari eksistensi Tuhan. Sebagian dari mereka
berpandangan bahwa wujud Tuhan tidak benar dan tidak dapat dibuktikan
keberadaanya, karena suatu kebenaran diukur dari fakta yang ada.
Pencampakan Tuhan serta berkeyakinan kepada-Nya adalah sikap yang
memalukan, merupakan suatu problem yang sedang dan akan dihadapi oleh
umat islam di Zaman Modern ini. Untuk membentengi dari itu semua, umat
Islam sadar bahwa paham ideologi tersebut berasal dari Barat dan
bertolak belakang dengan ajaran Islam yang berlandaskan Al-Qur’an dan
Sunnah. “Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalilahia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian” (QS 4:59). Wallahul muta’an...
Daftar Pustaka
Amstrong, Karen, Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan yang dilakukan oleh Orang – Orang Yahudi, Kristen dan Islam, terj: Zaimul Am, (Bandung: Mizan Pustaka, 2007)
Bakhtiar, Amsal, Filsafat Agama: Wiasta Pemikiran dan Kepercayaan Manusia, (Jakarta: Rajawali Press, 2009)
Geisler, Norman L. dan Williams D. Watkins, perspectives Understandingand Evaluating Today’s World Views, (California: Here’s Life Peblisers, Inc, 1984)
Hart, Michael H., Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah, terj: H. Mahbub Djunaidi (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1982)
Mudhofir, Ali, Kamus Filsafat Barat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar)
Muslih, Muhammad, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Belukar, 2004)
Pals, Daniel L., Dekonstruksi kebenaran: Kritik Tujuh Teori Agama, terj: Inyiak Ridwan Munir (Yogyakarta: IRCiSoD, 2005)
Ya’qub, Hamzah, Filsafat Agama Titik Temu Akal dan Wahyu, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1991)
Zarkasyi, Amal Fathullah, ‘Aqidah Al-Tauhd ‘Inda Al-Falasifah wa Al-Mutakallimin wa As-Sufiyah, (Ponorogo: Darussalam University Press, 2008)
----------, Kuliah Tentang Konsep Tauhid Dalam Perspektif Filsafat, Ilmu Kalam dan Tasawwuf, (Ponorogo: Fakultas Ushuluddin ISID, 2006)
----------, Ilmu Al- Kalam: Tarikhul Madzahib Al-Islamiyyah wa Qodloyaha Al-Kalamiyyah, (Ponorogo: Darussalam University Press, 2006)
[1] Hamzah Ya’qub, Filsafat Agama Titik Temu Akal dan Wahyu, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1991) hal. 10
[2] Amal Fathullah Zarkasyi, Ilmu Al- Kalam: Tarikhul Madzahib Al-Islamiyyah wa Qodloyaha Al-Kalamiyyah, (Ponorogo: Darussalam University Press, 2006) hal. 47
[3] Ibid., hal. 50
[4] Amal Fathullah Zarkasyi, Kuliah Tentang Konsep Tauhid Dalam Perspektif Filsafat, Ilmu Kalam dan Tasawwuf, (Ponorogo: Fakultas Ushuluddin ISID, 2006) hal. 7
[5] Ibid., hal. 12
[6] Ibid., hal. 13
[7] Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama: Wiasta Pemikiran dan Kepercayaan Manusia, (Jakarta: Rajawali Press, 2009) hal. 81
[8] Norman L. Geisler dan Williams D. Watkins, perspectives Understandingand Evaluating Today’s World Views, (California: Here’s Life Peblisers, Inc, 1984) hal. 23. Lihat juga Ibid., hal. 84
[9] Amal Fathullah Zarkasyi, ‘Aqidah Al-Tauhd ‘Inda Al-Falasifah wa Al-Mutakallimin wa As-Sufiyah, (Ponorogo: Darussalam University Press, 2008) hal. 96
[10] Bakhtiar, Op.cit., hal. 89
[11] Bakhtiar, Op.cit., hal. 94
[12] Michael H. Hart, Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah, terj: H. Mahbub Djunaidi (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1982)
[13] Hart, Ibid hal.
[14] Karen Amstrong, Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan yang dilakukan oleh Orang – Orang Yahudi, Kristen dan Islam, terj: Zaimul Am, (Bandung: Mizan Pustaka, 2007) hal. 441
[15] Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Belukar, 2004) hal. 109
[16] Bakhtiar, Op.cit., hal. 116
[17] Amstrong, Op.cit., hal 451
[18] Daniel L. Pals, Dekonstruksi kebenaran: Kritik Tujuh Teori Agama, terj: Inyiak Ridwan Munir (Yogyakarta: IRCiSoD, 2005) hal. 201
[19] Bakhtiar, Op.cit., hal. 124 - 125
[20] Ali Mudhofir, Kamus Filsafat Barat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), hal. 375
[21] Amstrong, Op.cit., hal. 458