by mutawalli
Pendahuluan
Pengetahuan tentang Tuhan dan kesetiaan terhadap aturan-aturan-Nya merupakan dasar bagi tiap agama, baik agama langit atau pun bumi . Namun kesadaran manusia akan eksistensinya menggiring ia untuk melihat bahwa eksistensinya dipengaruhi oleh tiga sifat; faktisitas, transendensi dan kebutuhan untuk mengerti.[1] Faktisitas berarti, bahwa eksistentsi selalu Nampak di depan kesadaran manusia sebagai sesuatu yang sudah ada. Sedangkan yang dimaksud dengan transendensi pada eksistensi manusia merupakan sifat yang nampak secara langsung dalam kesadaran manusia bahwa ia manusia, bukan hanya sekedar tubuh yang nampak dalam ruang dan waktu bersama “ada” yang lain, namun manusia adalah makhluk yang dapat melampaui dirinya melebihi dari batas ruang dan waktu dalam kesadarannya. Keberadaan kebutuhan untuk mengerti merupakan modus yang paling jelas dari transendensi kesadaran manusia. Termasuk dalam kesadaran ini adalah bahwa manusia selalu terdorong untuk selalu mempertanyakan hakikat dirinya dan dunianya. Karena hal inilah kemudian menimbulkan suatu pertanyaan mengenai dari mana ia dan dunianya berasal. Dalam filsafat ketuhanan, pertanyaan ini akan bermuara pada wilayah mengenai eksistensi Tuhan. Persoalan mengenai eksistensi Tuhan walau kadang suka melingkar pada pengulangan kata “ada dan tiada” namun dpat diterangkan dengan beberapa argumentasi, yakni: argumentasi ontology, teologi dan kosmologi. Pendekatan ontology lebih bersifat apriori, yang mencakup tentang pengetahuan mistik dan kesadaran manusia, sedangkan argumentasi teologi dan kosmologi merupakan argumentasi yang bersifat aposteriori.[2]
Setiap yang “ada” memiliki eksistensinya, dan yang bereksistensi pasti memiliki sebab keberadaannya dalam mengada untuk sebuah “ada” dari eksistensinya. Oleh karena hal itu, alam semestapun memiliki sebab dari bermulanya. Pengejaran sebab atau alasan inilah yang menjadi kajian hangat dalam argumentasi sebuah penciptaan, baik ari kalangan filsafat ataupun saintis.
Dalam makalah atau resensi tentang konsep ketuhanan ini akan saya bahas beberapa aliran, baik aliran yang mempercayai Tuhan ataupun yang semi percaya Tuhan bahkan yang menolak eksistensiNya.
Pembahasan
A. Deisme
Pertama saya tidak akan membahas arti dari kata Deisme secara etimologi bahasa Yunani seperti umumnya tulisan orang lain. Kedua, yang jelas, intinya yang dimaksud dengan deisme adalah sauatu faham kepercayaan kepada Tuhan yang menciptakan alam semesta, tetapi terpisah dengan diri dan meyakini bahwa alam semestalah yang mengatur dirinya. Karena buku rujukan yang saya punya terbatas untuk menjelaskan tentang deisme, mungkin saya hanya akan menulis tentang pemikiran W Leibniz dan Quentin Smith, yang saya pikir masuk kategori deisme juga jika kita lihat pemikiran dari kedua tokoh tersebut. Terutama teori Leibniz, “tentang Eksistensi Allah dalam Argumentasi Kosmologis”, Baiklah kita mulai pembahasan dengan pemikiran Leibniz.
a. Biografi dan Karya Leibniz
Gottfried Wilhem von Leibniz lahir pada 1 Juli 1646 di kota Leipzig, Sachsen. Ayahnya, Friedrich Leibniz, menjabat sebagai professor filsafat moral di Universitas Leipzig. Ibunya bernama CatharinaScmuck adalah seorang ahli dari ahli hokum. Ayah Leibniz meninggal pada saat ia berusia 6 tahun. Leibniz masuk Universitas Leipzig sebagai mahasiswa hukum, pada tahun 1663 ia telah menyelesaikan program sarjananya. Dan pada tahun 1666 ia memperoleh gelar doktornya.
b. Eksistensi Alam Semesta sebagai “Ada” yang Kontingen
Dalam argumentasi kosmologinya, libniz menerima adanya penyebab mundur yang tidak terbatas. Ia tidak tergantung pada permis penolakan suatu sebab mundur yang tak terbatas.[3] Selain itu, baginya dunia atau alam semesta adalah suatu keseluruhan yang terdiri dari pengada-pengada yang bersifat kontingen. Rangkaian dari pengada-pengada terhubung dengan kejadian-kejadian. Karena itu, dunia sebagai suatu keseluruhanpun bersifat kontingen.
Bagi Leibniz, adanya suatu eksistensi pengada selalu membutuhkan penjelasan dari eksistensinya.[4] Dalam suatu rangkaian terjalin relasi kausalitas langsung antara pengada yang lebih awal dan pengada yang seterusnya. Leibniz juga memberikan batasan bagi pengada-pengada dalam suatu rangkaian untuk sampai pada penjelasan penuh atas keberadaanya.
Lalu bagaimana menjelaskan adanya suatu pengada yang menyebabkan seluruh pengada-pengada dapat ada, jika segala yang ada adalah kontingen?. Jalan keluar yang diambil Leibniz adalah bahwa pengada itu haruslah berada di luar rangkaian, karena setiap rangkaian tidak dapat memberikan penjelasan pada dirinya sendiri. Adanya eksistensi ini harus dijelaskan dalam suatu aktivitas kausal dari pengada di luar rangkaian tersebut.[5] Karena itu haruslah ada suatu pengada yang niscaya, yang oleh Leibniz disebut sufficient reason. Setiap pengada harus memiliki prinsip ini sebagai jaminan eksistensinya.
B. Pantheisme
Istilah panenteisme telah diperkenalkan pertama kali oleh filsuf idealis Jerman Karl Friedrich Christian Krause (1781-1832). Panenteisme berasal dari kata Yunani pan berarti semua, en berarti didalam dan theos yang berarti Tuhan. Dengan demikian, berarti Semua berada di dalam Tuhan (all-in-God).[6] Istilah ini merujuk kepada sebuah sistem kepercayaan yang beranggapan bahwa dunia semesta berada dalam Tuhan. Bagi Karl Friedrich Christian Krause (1781-1832) sebagai seorang Hegelian dan guru Schopenhauer, mempergunakan kata panenteisme untuk mendamaikan konsep teisme dengan panteisme. Istilah panenteisme muncul pertama kali sebagai system pemikiran filosofis dan religius pada tahun 1828. Harry Austryn Wolfson (1887-1974), Profesor Harvard University seorang ahli spritualis Yunani kuno.
Sementara itu, pandangan panenteisme di abad 20 dan 21. dipengaruhi oleh gagasan Teologi Proses, yang cenderung menolak transendensi Tuhan, kemahakuasaan dan kemahatahuan. Para Ilmuwan, Kosmolog, filosof dan Teolog di Barat sangat tertarik dengan panenteisme. Mereka mencapai kesepakatan: “Tuhan tidak lain alam itu sendiri, setidak-tidaknya ditempatkan sebagai bagian dari itu. tapi hanya tersedia bagi pengalaman mistik yang terdapat di dalamnya.” [7]
C. Theisme
Sejujurnya sangat membingungkan bagi saya ketika subjudul diatas saya menuliskan tentang deisme dan di subjudul lain saya harus menjelaskan tentang Theisme. Karena pada dasarny berbicara Theis dan deisme adalah sama. Arti dari deisme yaitu dari kata deus yang berarti Allah, sedangkan theis sendiri berasal dari kata theos yang ber arti Allah atau Tuhan.[8]
Namun sedikit saja saya akan singgung tentang persoalan Theisme dalam perjalanan filsafat. Seiring dengan berkembangnya peradaban dalam kancah filsafat. Pembicaraan tentang Tuhan pernah menjadi sentral atau pusat kajian dari filsafat setelah terjadinya pergeseran pemikiran dari kosmosentris ke theosentris. Mungkin yang membedakan theism dengan deisme adalah bahwa Theisme lebih bersifat universal sedangkan deisme lebih memandang bahwa Tuhan tidak pernah mempunyai peran apapun dalam masalah keduniawian.
D. Atheisme
Istilah atheisme berasal dari dua kata bahasa Yunani; awalan “a” yang berarti “tidak”, dan Theos yang berarti Tuhan atau dewa, atau juga Allah.
Di dalam literature filsafat, tanda-tanda pertama suatu pandangan atheistic bisa ditemukan di dalam pemikiran beberapa filsuf Pra-Sokratik dan Kaum Sofis. Bagi Kritias, para dewa adalah ciptaan atau penemuan pihak penguasa untuk menakut-nakuti para penjahat dan pelanggar ketertiban. Secara prinsip antara teisme dan Deisme sangat berbeda. Teisme beranggapan bahwa Tuhan adalah transenden sekaligus immanen, sedangkan Deisme berpandangan bahwa Tuhan setelah menciptakan alam ini kemudian membiarkannya secara mekanis berjalan sendiri tanpa ada campur tangan Tuhan lagi
Atheisme sebagai pandangan yang menyangkal adanya Allah dapat dibedakan menjadi dua, yakni atheisme praktis atau atheis romantic dan atheis toeritis.
E. Naturalisme
Naturalism adalah suatu faham yang berpanadangan bahwa manusia maju bukan karena kekuatan-kekuatan gaib melainkan pada kekuatan diri sendiri yang membuktikan diri dalam kemajuan ilmu pengetahuan. Oleh karena itulah kepercayaan terhadap ilmu pengetahuan sebagai pemecah segala masalahmanusia itu disebut saintisme. Menurut pandangan ini agama harus digantikan dengan ilmu pengetahuan.[9]
Semangat itu paling jelas dirumuskan oleh Aguste Comte (1798-1857), bapak posotivisme yang memandang bahwa manusia berkembang melalui hukum tiga tahap dalam kesempurnaannya. Tahap pertama adalah tahap teologis, tahap kedua adalah metafisik dan tahap ketiga adalah menjadi manusia positiv yang rasional. Pada tahap ketiga ini, manuisa dipandang tidak perlu lagi membutuhkan tuhan.[10]
F. Agnotisisme
Agnostisisme berasal dari kata Yunani agnostos yang berarti tidak dikenal, sehingga dapat dikatakan bahwa akal manusia tidak dapat mengenal atau mengetahui ada dan tidaknya Tuhan. Agnostisisme merupakan paham atau aliran yang berpandangan bahwa mustahil akal manusia dapat mengetahui eksistensi Tuhan. Ini karena, akal manusia bersifat terbatas, sehingga tidak akan mampu mengetahui sesuatu di luar jangkauan akal manusia termasuk di dalamnya aalah realitas ketuhanan.[11]
Kesimpulan
Akhirnya harus saya katakan, bahwa kaum agamawan tidak jarang bertanggungjawab atas timbulnya penolakan atau berbagai macam aliran atheisme. Selama kaum agamawan hanya menyampaikan khotbah dan takhayul naïf serta tafsiran agama yang disakralkan tanpa mengacu pada problem-problem konkrit yang ada di depan hidungnya, maka atheism disitu bisa muncul sebagai reaksi kritis dan antipasti terhadap agama. Maka oleh karena itu, kaum agamawan harus belajar dari timbulnya atheisme.
[1] Louis Leahy, Filsafat Ketuhanan Kontemporer, 1993, Yogyakarta dan Jakarta: Kanasius dan Gunung Mulia, 38-42.
[2] Lisa Ra’ra T, Jurnal Filsafat Driyarkara. Atheisme Modern. Jakarta. Hal, 23.
[3] Charles Taliaferro, Cosmological Argument.
[4] Risa Ra’ra T, Argumentasi Allah dalam argumentasi kosmologis, Jakarta, jurnal filsafat driyarkara. Hal 25
[5] Risa Ra’ra T, Argumentasi Allah dalam argumentasi kosmologis, Jakarta, jurnal filsafat driyarkara. Hal 26
[6] Sistem filsafat yang disebut panenteisme oleh Krause pada dasarnya sebagai upaya untuk mendamaikan panteisme dan teisme. Krause menegaskan bahwa Tuhan adalah suatu hakikat yang berisi keseluruhan alam semesta dalam dirinya, namun tidak habis olehnya. Dia menempatkan penekanan khusus pada perkembangan individu sebagai bagian integral dari kehidupan keseluruhan. Untuk lebih jelasnya, lihat John W. Cooper, Panenteisme: The Other God of the Philosophers (Baker Academic, 2006), p. 18.
[7] panenteisme. (2009). In Encyclopædia Britannica. Retrieved May 18, 2009, from Encyclopædia Britannica Online: http://www.britannica.com/EBchecked/topic/441190/panenteisme For a definition of “panenteisme”, visit Merriam-Webster.
[8] Franz Magnis Suseno, menalar Tuhan. Kanasius hal 53
[9] Franz magnis suseno, menalar Tuhan, pustaka kanasius djogja. Hal 57.
[10] Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu
[11] Agnosticisme is the view that we don’t know whther there is a God or not. Lihat Encyclopedia of Philosophy, hal. 56. Bdk dengan pandangan Berkhof, Systematic, hal. 30
Pengetahuan tentang Tuhan dan kesetiaan terhadap aturan-aturan-Nya merupakan dasar bagi tiap agama, baik agama langit atau pun bumi . Namun kesadaran manusia akan eksistensinya menggiring ia untuk melihat bahwa eksistensinya dipengaruhi oleh tiga sifat; faktisitas, transendensi dan kebutuhan untuk mengerti.[1] Faktisitas berarti, bahwa eksistentsi selalu Nampak di depan kesadaran manusia sebagai sesuatu yang sudah ada. Sedangkan yang dimaksud dengan transendensi pada eksistensi manusia merupakan sifat yang nampak secara langsung dalam kesadaran manusia bahwa ia manusia, bukan hanya sekedar tubuh yang nampak dalam ruang dan waktu bersama “ada” yang lain, namun manusia adalah makhluk yang dapat melampaui dirinya melebihi dari batas ruang dan waktu dalam kesadarannya. Keberadaan kebutuhan untuk mengerti merupakan modus yang paling jelas dari transendensi kesadaran manusia. Termasuk dalam kesadaran ini adalah bahwa manusia selalu terdorong untuk selalu mempertanyakan hakikat dirinya dan dunianya. Karena hal inilah kemudian menimbulkan suatu pertanyaan mengenai dari mana ia dan dunianya berasal. Dalam filsafat ketuhanan, pertanyaan ini akan bermuara pada wilayah mengenai eksistensi Tuhan. Persoalan mengenai eksistensi Tuhan walau kadang suka melingkar pada pengulangan kata “ada dan tiada” namun dpat diterangkan dengan beberapa argumentasi, yakni: argumentasi ontology, teologi dan kosmologi. Pendekatan ontology lebih bersifat apriori, yang mencakup tentang pengetahuan mistik dan kesadaran manusia, sedangkan argumentasi teologi dan kosmologi merupakan argumentasi yang bersifat aposteriori.[2]
Setiap yang “ada” memiliki eksistensinya, dan yang bereksistensi pasti memiliki sebab keberadaannya dalam mengada untuk sebuah “ada” dari eksistensinya. Oleh karena hal itu, alam semestapun memiliki sebab dari bermulanya. Pengejaran sebab atau alasan inilah yang menjadi kajian hangat dalam argumentasi sebuah penciptaan, baik ari kalangan filsafat ataupun saintis.
Dalam makalah atau resensi tentang konsep ketuhanan ini akan saya bahas beberapa aliran, baik aliran yang mempercayai Tuhan ataupun yang semi percaya Tuhan bahkan yang menolak eksistensiNya.
Pembahasan
A. Deisme
Pertama saya tidak akan membahas arti dari kata Deisme secara etimologi bahasa Yunani seperti umumnya tulisan orang lain. Kedua, yang jelas, intinya yang dimaksud dengan deisme adalah sauatu faham kepercayaan kepada Tuhan yang menciptakan alam semesta, tetapi terpisah dengan diri dan meyakini bahwa alam semestalah yang mengatur dirinya. Karena buku rujukan yang saya punya terbatas untuk menjelaskan tentang deisme, mungkin saya hanya akan menulis tentang pemikiran W Leibniz dan Quentin Smith, yang saya pikir masuk kategori deisme juga jika kita lihat pemikiran dari kedua tokoh tersebut. Terutama teori Leibniz, “tentang Eksistensi Allah dalam Argumentasi Kosmologis”, Baiklah kita mulai pembahasan dengan pemikiran Leibniz.
a. Biografi dan Karya Leibniz
Gottfried Wilhem von Leibniz lahir pada 1 Juli 1646 di kota Leipzig, Sachsen. Ayahnya, Friedrich Leibniz, menjabat sebagai professor filsafat moral di Universitas Leipzig. Ibunya bernama CatharinaScmuck adalah seorang ahli dari ahli hokum. Ayah Leibniz meninggal pada saat ia berusia 6 tahun. Leibniz masuk Universitas Leipzig sebagai mahasiswa hukum, pada tahun 1663 ia telah menyelesaikan program sarjananya. Dan pada tahun 1666 ia memperoleh gelar doktornya.
b. Eksistensi Alam Semesta sebagai “Ada” yang Kontingen
Dalam argumentasi kosmologinya, libniz menerima adanya penyebab mundur yang tidak terbatas. Ia tidak tergantung pada permis penolakan suatu sebab mundur yang tak terbatas.[3] Selain itu, baginya dunia atau alam semesta adalah suatu keseluruhan yang terdiri dari pengada-pengada yang bersifat kontingen. Rangkaian dari pengada-pengada terhubung dengan kejadian-kejadian. Karena itu, dunia sebagai suatu keseluruhanpun bersifat kontingen.
Bagi Leibniz, adanya suatu eksistensi pengada selalu membutuhkan penjelasan dari eksistensinya.[4] Dalam suatu rangkaian terjalin relasi kausalitas langsung antara pengada yang lebih awal dan pengada yang seterusnya. Leibniz juga memberikan batasan bagi pengada-pengada dalam suatu rangkaian untuk sampai pada penjelasan penuh atas keberadaanya.
Lalu bagaimana menjelaskan adanya suatu pengada yang menyebabkan seluruh pengada-pengada dapat ada, jika segala yang ada adalah kontingen?. Jalan keluar yang diambil Leibniz adalah bahwa pengada itu haruslah berada di luar rangkaian, karena setiap rangkaian tidak dapat memberikan penjelasan pada dirinya sendiri. Adanya eksistensi ini harus dijelaskan dalam suatu aktivitas kausal dari pengada di luar rangkaian tersebut.[5] Karena itu haruslah ada suatu pengada yang niscaya, yang oleh Leibniz disebut sufficient reason. Setiap pengada harus memiliki prinsip ini sebagai jaminan eksistensinya.
B. Pantheisme
Istilah panenteisme telah diperkenalkan pertama kali oleh filsuf idealis Jerman Karl Friedrich Christian Krause (1781-1832). Panenteisme berasal dari kata Yunani pan berarti semua, en berarti didalam dan theos yang berarti Tuhan. Dengan demikian, berarti Semua berada di dalam Tuhan (all-in-God).[6] Istilah ini merujuk kepada sebuah sistem kepercayaan yang beranggapan bahwa dunia semesta berada dalam Tuhan. Bagi Karl Friedrich Christian Krause (1781-1832) sebagai seorang Hegelian dan guru Schopenhauer, mempergunakan kata panenteisme untuk mendamaikan konsep teisme dengan panteisme. Istilah panenteisme muncul pertama kali sebagai system pemikiran filosofis dan religius pada tahun 1828. Harry Austryn Wolfson (1887-1974), Profesor Harvard University seorang ahli spritualis Yunani kuno.
Sementara itu, pandangan panenteisme di abad 20 dan 21. dipengaruhi oleh gagasan Teologi Proses, yang cenderung menolak transendensi Tuhan, kemahakuasaan dan kemahatahuan. Para Ilmuwan, Kosmolog, filosof dan Teolog di Barat sangat tertarik dengan panenteisme. Mereka mencapai kesepakatan: “Tuhan tidak lain alam itu sendiri, setidak-tidaknya ditempatkan sebagai bagian dari itu. tapi hanya tersedia bagi pengalaman mistik yang terdapat di dalamnya.” [7]
C. Theisme
Sejujurnya sangat membingungkan bagi saya ketika subjudul diatas saya menuliskan tentang deisme dan di subjudul lain saya harus menjelaskan tentang Theisme. Karena pada dasarny berbicara Theis dan deisme adalah sama. Arti dari deisme yaitu dari kata deus yang berarti Allah, sedangkan theis sendiri berasal dari kata theos yang ber arti Allah atau Tuhan.[8]
Namun sedikit saja saya akan singgung tentang persoalan Theisme dalam perjalanan filsafat. Seiring dengan berkembangnya peradaban dalam kancah filsafat. Pembicaraan tentang Tuhan pernah menjadi sentral atau pusat kajian dari filsafat setelah terjadinya pergeseran pemikiran dari kosmosentris ke theosentris. Mungkin yang membedakan theism dengan deisme adalah bahwa Theisme lebih bersifat universal sedangkan deisme lebih memandang bahwa Tuhan tidak pernah mempunyai peran apapun dalam masalah keduniawian.
D. Atheisme
Istilah atheisme berasal dari dua kata bahasa Yunani; awalan “a” yang berarti “tidak”, dan Theos yang berarti Tuhan atau dewa, atau juga Allah.
Di dalam literature filsafat, tanda-tanda pertama suatu pandangan atheistic bisa ditemukan di dalam pemikiran beberapa filsuf Pra-Sokratik dan Kaum Sofis. Bagi Kritias, para dewa adalah ciptaan atau penemuan pihak penguasa untuk menakut-nakuti para penjahat dan pelanggar ketertiban. Secara prinsip antara teisme dan Deisme sangat berbeda. Teisme beranggapan bahwa Tuhan adalah transenden sekaligus immanen, sedangkan Deisme berpandangan bahwa Tuhan setelah menciptakan alam ini kemudian membiarkannya secara mekanis berjalan sendiri tanpa ada campur tangan Tuhan lagi
Atheisme sebagai pandangan yang menyangkal adanya Allah dapat dibedakan menjadi dua, yakni atheisme praktis atau atheis romantic dan atheis toeritis.
E. Naturalisme
Naturalism adalah suatu faham yang berpanadangan bahwa manusia maju bukan karena kekuatan-kekuatan gaib melainkan pada kekuatan diri sendiri yang membuktikan diri dalam kemajuan ilmu pengetahuan. Oleh karena itulah kepercayaan terhadap ilmu pengetahuan sebagai pemecah segala masalahmanusia itu disebut saintisme. Menurut pandangan ini agama harus digantikan dengan ilmu pengetahuan.[9]
Semangat itu paling jelas dirumuskan oleh Aguste Comte (1798-1857), bapak posotivisme yang memandang bahwa manusia berkembang melalui hukum tiga tahap dalam kesempurnaannya. Tahap pertama adalah tahap teologis, tahap kedua adalah metafisik dan tahap ketiga adalah menjadi manusia positiv yang rasional. Pada tahap ketiga ini, manuisa dipandang tidak perlu lagi membutuhkan tuhan.[10]
F. Agnotisisme
Agnostisisme berasal dari kata Yunani agnostos yang berarti tidak dikenal, sehingga dapat dikatakan bahwa akal manusia tidak dapat mengenal atau mengetahui ada dan tidaknya Tuhan. Agnostisisme merupakan paham atau aliran yang berpandangan bahwa mustahil akal manusia dapat mengetahui eksistensi Tuhan. Ini karena, akal manusia bersifat terbatas, sehingga tidak akan mampu mengetahui sesuatu di luar jangkauan akal manusia termasuk di dalamnya aalah realitas ketuhanan.[11]
Kesimpulan
Akhirnya harus saya katakan, bahwa kaum agamawan tidak jarang bertanggungjawab atas timbulnya penolakan atau berbagai macam aliran atheisme. Selama kaum agamawan hanya menyampaikan khotbah dan takhayul naïf serta tafsiran agama yang disakralkan tanpa mengacu pada problem-problem konkrit yang ada di depan hidungnya, maka atheism disitu bisa muncul sebagai reaksi kritis dan antipasti terhadap agama. Maka oleh karena itu, kaum agamawan harus belajar dari timbulnya atheisme.
[1] Louis Leahy, Filsafat Ketuhanan Kontemporer, 1993, Yogyakarta dan Jakarta: Kanasius dan Gunung Mulia, 38-42.
[2] Lisa Ra’ra T, Jurnal Filsafat Driyarkara. Atheisme Modern. Jakarta. Hal, 23.
[3] Charles Taliaferro, Cosmological Argument.
[4] Risa Ra’ra T, Argumentasi Allah dalam argumentasi kosmologis, Jakarta, jurnal filsafat driyarkara. Hal 25
[5] Risa Ra’ra T, Argumentasi Allah dalam argumentasi kosmologis, Jakarta, jurnal filsafat driyarkara. Hal 26
[6] Sistem filsafat yang disebut panenteisme oleh Krause pada dasarnya sebagai upaya untuk mendamaikan panteisme dan teisme. Krause menegaskan bahwa Tuhan adalah suatu hakikat yang berisi keseluruhan alam semesta dalam dirinya, namun tidak habis olehnya. Dia menempatkan penekanan khusus pada perkembangan individu sebagai bagian integral dari kehidupan keseluruhan. Untuk lebih jelasnya, lihat John W. Cooper, Panenteisme: The Other God of the Philosophers (Baker Academic, 2006), p. 18.
[7] panenteisme. (2009). In Encyclopædia Britannica. Retrieved May 18, 2009, from Encyclopædia Britannica Online: http://www.britannica.com/EBchecked/topic/441190/panenteisme For a definition of “panenteisme”, visit Merriam-Webster.
[8] Franz Magnis Suseno, menalar Tuhan. Kanasius hal 53
[9] Franz magnis suseno, menalar Tuhan, pustaka kanasius djogja. Hal 57.
[10] Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu
[11] Agnosticisme is the view that we don’t know whther there is a God or not. Lihat Encyclopedia of Philosophy, hal. 56. Bdk dengan pandangan Berkhof, Systematic, hal. 30