oleh Drs. H.Mutawalli, M.Pd.I
Apakah Onani Sama Dengan Zina ??
Sayyid Sabiq menyebutkan bahwa telah terjadi perbedaan pendapat
dikalangan para ulama dalam
permasalahan onani :
1. Para ulama madzhab Maliki, Syafi’i dan Zaidiyah
berpendapat bahwa onani adalah
haram. Argumentasi mereka akan
pengharaman onani ini adalah
bahwa Allah swt telah memerintahkan untuk menjaga kemaluan dalam segala kondisi
kecuali terhadap istri dan budak perempuannya. Apabila seseorang tidak
melakukannya terhadap kedua
orang itu kemudian melakukan onani maka ia termasuk kedalam golongan
orang-orang yang melampaui
batas-batas dari apa yang telah
dihalalkan Allah bagi mereka dan
beralih kepada apa-apa yang diharamkan-Nya atas mereka.
Firman Allah swt
وَالَّذِينَ هُمْ
لِفُرُوجِهِمْ
حَافِظُونَ ﴿٥﴾
إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ ﴿٦﴾
فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاء ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ ﴿٧﴾
Artinya :1. “dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki. Maka
Sesungguhnya mereka dalam hal
ini tiada terceIa. Barangsiapa
mencari yang di balik itu. Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al Mukminun : 5 – 7)
2. Para ulama madzhab Hanafi berpendapat bahwa onani hanya diharamkan dalam keadaan-keadaan tertentu dan wajib pada keadaan yang
lainnya. Mereka mengatakan bahwa
onani menjadi wajib apabila ia takut jatuh kepada perzinahan jika tidak melakukannya. Hal ini juga didasarkan pada kaidah mengambil kemudharatan yang lebih ringan. Namun mereka
mengharamkan apabila hanya
sebatas untuk bersenang-senang
dan membangkitkan
syahwatnya. Mereka juga
mengatakan bahwa onani tidak
masalah jika orang itu sudah dikuasai oleh syahwatnya sementara ia tidak memiliki istri atau budak
perempuan demi menenangkan
syahwatnya.
3. Para ulama madzhab Hambali berpendapat bahwa onani itu diharamkan kecuali apabila dilakukan karena takut dirinya
jatuh kedalam perzinahan atau
mengancam kesehatannya sementara ia
tidak memiliki istri atau budak serta tidak memiliki kemampuan untuk menikah,
jadi onani tidaklah masalah.
4. Ibnu Hazm berpendapat bahwa onani itu makruh dan tidak ada dosa
didalamnya karena seseorang yang
menyentuh kemaluannya dengan
tangan kirinya adalah boleh menurut ijma seluruh ulamA, sehingga onani itu
bukanlah suatu perbuatan yang diharamkan. Firman Allah swt
وَقَدْ فَصَّلَ لَكُم مَّا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ
Artinya : “Padahal Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu.” (QS. Al An’am : 119)
Dan onani tidaklah diterangkan kepada kita tentang keharamannya maka ia adalah halal
sebagaimana
firman-Nya :
Artinya : “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu.” (QS. Al Baqoroh :
29)
5. Diantara ulama yang berpendapat bahwa onani itu makruh adalah Ibnu Umar dan
Atho’. Hal itu dikarenakan bahwa
onani bukanlah termasuk dari perbuatan yang terpuji dan bukanlah prilaku yang
mulia. Ada cerita bahwa manusia pada saat itu pernah berbincang-bincang tentang onani maka ada sebagian mereka
yang memakruhkannya dan sebagian
lainnya membolehkannya.
6. Diantara yang membolehkannya adalah Ibnu Abbas, al Hasan dan sebagian
ulama tabi’in yang masyhur. Al Hasan mengatakan bahwa dahulu mereka melakukannya saat dalam peperangan. Mujahid mengatakan bahwa orang-orang terdahulu memerintahkan para pemudanya untuk melakukan onani untuk
menjaga kesuciannya. Begitu pula
hukum onani seorang wanita sama dengan hukum onani seorang
laki-laki. (Fiqhus Sunnah juz III hal
424 – 426)
Dari pendapat-pendapat
para ulama diatas tidak ada dari mereka yang secara tegas
menyatakan bahwa onani sama
dengan zina yang sesungguhnya.
Namun para ulama mengatakan
bahwa perbuatan tersebut termasuk kedalam muqoddimah zina (pendahuluan zina), firman Allah swt
Artinya : “dan
janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji. Dan suatu jalan
yang buruk.” (QS. Al Israa : 32)
>> Adapun apakah perbuatan tersebut termasuk kedalam dosa besar ?
Imam Nawawi menyebutkan
beberapa pendapat ulama tentang batasan dosa besar jika dibedakan dengan dosa
kecil :
Dari Ibnu Abbas menyebutkan bahwa dosa besar adalah segala dosa yang Allah
akhiri dengan neraka, kemurkaan,
laknat atau adzab, demikian pula pendapat Imam al Hasan Bashri.
Para ulama yang lainnya mengatakan bahwa dosa besar adalah dosa yang diancam Allah swt
dengan neraka atau hadd di dunia.
Abu Hamid al Ghozali didalam “al Basiith” mengatakan bahwa batasan menyeluruh dalam hal dosa besar adalah segala
kemaksiatan yang dilakukan
seseorang tanpa ada perasaan takut dan penyesalan, seperti orang yang menyepelekan suatu dosa sehingga menjadi
kebiasaan. Setiap
penyepelean dan peremehan suatu dosa
maka ia termasuk kedalam dosa besar.
Asy Syeikhul Imam Abu ‘Amr bin Sholah didalam “al Fatawa al Kabiroh”
menyebutkan bahwa setiap dosa yang
besar atau berat maka bisa dikatakan bahwa itu adalah dosa besar.
Adapun diantara tanda-tanda dosa besar adalah wajib atasnya hadd, diancam
dengan siksa neraka dan sejensnya sebagaimana disebutkan didalam Al Qur’an maupun Sunnah. Para pelakunya
pun disifatkan dengan fasiq
berdasarkan nash, dilaknat
sebagaimana Allah swt melaknat
orang yang merubah batas-batas tanah.
(Shohih Muslim bi Syarhin Nawawi juz II hal 113)
Dari beberapa definisi dan tanda-tanda dosa besar maka perbuatan onani tidaklah termasuk
kedalam dosa besar selama tidak dilakukan secara terus menerus atau menjadi
suatu kebiasaan.
Hendaknya seorang muslim tidak berfikir kecilnya dosa suatu
kemasiatan yang
dilakukannya akan tetapi
terhadap siapa dia bermaksiat,
tentunya terhadap Allah swt yang Maha Besar lagi Maha Mulia.
>>> Apakah Onani Mesti Dengan Menggunakan Tangan??
Pada asalnya istimna’ (masturbasi) adalah mengeluarkan mani bukan melalui persetubuhan, baik dengan telapak tangan atau dengan cara yang
lainnya. (Mu’jam Lughotil Fuqoha juz I hal 65)
Masturbasi adalah
menyentuh, menggosok dan meraba
bagian tubuh sendiri yang peka sehingga menimbulkan rasa menyenangkan untuk mendapat kepuasan seksual (orgasme) baik
tanpa menggunakan alat maupun
menggunakan alat.
Sedangkan onani mempunyai arti sama dengan masturbasi. Namun ada yang berpendapat bahwa onani hanya diperuntukkan bagi laki-laki, sedangkan istilah masturbasi dapat berlaku pada perempuan maupun
laki-laki. (sumber :
situs.kesrepro.info)
Namun didalam buku-buku fiqih kata istimna’ (onani) ini adalah
mengeluarkan mani dengan
menggunakan tangan baik
tangannya, tangan istri atau
tangan budak perempuannya.
Adapun mengeluarkan air
mani dengan alat (sarana) tertentu selain tangan pada asalnya tidaklah berbeda
dengan istmina’ dikarenakan
subsatansi perbuatan itu adalah
sama, yaitu sama-sama mengeluarkan mani untuk mendapatkan satu kenikmatan apakah dikarenakan kondisi terpaksa atau tidak, sehingga hukumnya
bisa disamakan dengan hukum onani yang menggunakan tangan.
Ibnu ‘Abidin menyebutkan bahwa “Perkataan onani itu makruh” adalah secara zhahir ia adalah
makruh yang tidak sampai haram. Hal itu dikarenakan bahwa kedudukan onani seperti orang yang
mengeluarkan mani baik dengan
merapatkan kedua paha atau menekan
perutnya. (Roddul Mukhtar juz XV hal 75)
Adapun mengeluarkan
mani dengan menonton film-film porno maka ini lebih berat dari sekedar onani
dikarenakan ia telah
menyaksikan aurat orang lain
yang tidak halal baginya. Pada hakekatnya melihat aurat orang lain melalui menonton film porno
sama dengan melihat auratnya secara langsung dan ini adalah haram.
Solusi Bagi Orang Yang Sudah Terbiasa Onani
DR. Muhammad Shaleh al Munjid, seorang ulama di Saudi Arabia,
menyebutkan beberapa solusi bagi
orang-orang yang terbiasa melakukan
perbuatan ini, yaitu :
1. Hendaklah faktor yang mendorongnya untuk melepaskan diri dari kebiasaan onani adalah untuk
menjalankan perintah Allah swt
dan menghindari murka-Nya.
2. Mendorong dirinya untuk mengambil solusi mendasar dengan menikah
sebagai pelaksanaan dari wasiat
Rasulullah saw kepada para
pemuda dalam permasalahan ini.
3. Mengarahkan fikiran,
bisikan dan menyibukan dirinya
dengan perkara-perkara yang
didalamnya terdapat
kemaslahatan bagi dunia maupun
akheratnya. Karena terus menerus
menghayal akan mendorongnya
untuk melakukan perbuatan itu dan pada akhirnya menjadikannya kebiasaan sehingga sulit untuk
dilepaskan.
4. Menjaga pandangan dari melihat orang-orang atau foto-foto yang membawa fitnah apakah itu
foto dari orang yang hidup atau sekedar gambar dengan matanya secara langsung.
Karena hal itu akan mendorongnya
kepada perbuatan yang diharamkan, sebagaimana firman Allah swt
قُل
لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ
أَبْصَارِهِمْ
Artinya : “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman:
"Hendaklah mereka menahan
pandanganya…” (QS. An Nuur : 30)
Juga sabda Rasulullah saw,”Janganlah engkau ikuti pandanganmu dengan pandangan yang
selanjutnya.” (HR. Tirmidzi, dan
dihasankan didalam shahihul jami’)
Pandangan pertama adalah pandangan spontanitas yang tidak ada dosa didalamnya sedangkan pandangan kedua adalah haram. Untuk itu
sudah seharusnya dia
menjauhkan diri dari
tempat-tempat yang
didalamnya terdapat
perkara-perkara yang bisa
menggelorakan dan
menggerakkan syahwat.
5. Menyibukkan dirinya
dengan berbagai ibadah dan menghindari untuk mengisi waktu-waktu kosongnya dengan maksiat.
6. Mengambil palajaran dari beberapa penyakit pada tubuh yang
disebabkan kebiasaan melakukan
onani seperti : melemahkan
penglihatan dan syahwat,
melemahkan alat
reproduksi, sakit punggung dan
penyakit-penyakit lainnya yang
telah disebutkan oleh para
dokter. Demikian pula dengan penyakit kejiwaan seperti : stress, kegalauan hati
dan yang lebih besar dari itu semua adalah meremehkan waktu-waktu sholat dikarenakan berulang kalinya mandi… dan juga merusak puasanya
(apabila dalam keadaan puasa).
7. Menghilangkan
berbagai cara untuk mencari kepuasan yang salah, dikarenakan sebagian pemuda menganggap bahwa perbuatan ini dibolehkan dengan alasan menjaga diri dari zina atau
homoseksual padahal
kondisinya tidaklah sama sekali
mendekati perbuatan yang keji (zina/homoseksual) tersebut.
8. Mempersenjatai diri
dengan kekuatan kehendak dan tekad serta tidak mudah meyerah terhadap setan.
Hindari berada dalam kesendirian
seperti bermalam sendirian.
Didalam sebuah hadits disebutkan
bahwa Nabi saw melarang seseorang bermalam sendirian.” (HR. Ahmad didalam shahihul jami’ 6919)
9. Mengambil cara-cara penyembuhan Nabi saw berupa puasa, karena ia dapat menekan
gejolak syahwat dan seksualnya.
Dia juga perlu menghindari
beberapa solusi yang aneh, seperti bersumpah untuk tidak
melakukannya lagi atau bernazar
dikarenakan jika ia kembali
melakukan hal itu maka ia termasuk kedalam golongan orang-orang yang memutuskan sumpah yang telah dikokohkan. Jangan pula menggunakan obat-obat penekan syahwat karena
didalamnya
terkandung berbagai bahaya bagi
tubuh. Didalam sunnah disebutkan
bahwa segala sesuatu yang dipakai untuk menghentikan syahwat secara keseluruhan adalah haram.
10. Berkomitmen dengan
adab-adab syari’ah saat tidur, seperti; berdzikir, tidur diatas sisi kanan tubuhnya,
menghindarkan tidur telungkup yang
dilarang Nabi saw.
11. Berhias dengan kesabaran dan iffah. Hal yang demikian
dikarenakan diantara kewajiban
kita adalah bersabar terhadap hal-hal yang diharamkan walaupun hal itu disukai oleh jiwa. Telah
diketahui bahwa sifat iffah dalam diri pada akhirnya akan
menghentikannya dari kebiasaan
tersebut, sebagaimana sabda
Rasulullah
saw,”Barangsiapa yang menjaga
diri (iffah) maka Allah akan menjaganya, barangsiapa yang meminta pertolongan kepada Allah maka Allah akan
menolongnya,
barangsiapa yang bersabar maka
Allah akan memberikan kesabaran
kepadanya dan tidaklah seseorang diberikan suatu pemberian yang lebih baik atau
lebih luas daripada kesabaran.” (HR.
Bukhori, didalam Fath no 1469)
12. Apabila seseorang telah jatuh kedalam perbuatan maksiat ini maka
segeralah bertaubat dan beristighfar serta melakukan perbuatan-perbuatan taat dengan tidak berputus asa karena putus
asa adalah termasuk kedalam dosa besar.
13. Akhirnya, diantara kewajiban yang tidak diragukan adalah kembali
kepada Allah dan merendahkan
dirinya dengan berdoa, meminta pertolongan dari-Nya untuk melepaskan diri dari kebiasaan ini. Ini adalah solusi
terbesar karena Allah swt senantiasa mengabulkan doa orang yang berdoa apabila dia berdoa.
(sumber: islam-qa.com)
>>> Hukum Zina Tangan atau Mata
Abu Hurairoh berkata dari Nabi saw,”Sesungguhnya Allah telah menetapkan terhadap anak-anak Adam bagian dari zina yang
bisa jadi ia mengalaminya dan
hal itu tidaklah mustahil. Zina mata adalah pandangan, zina lisan adalah perkataan dimana diri ini
menginginkan dan menyukai serta
kemaluan membenarkan itu semua
atau mendustainya.” (HR. Bukhori)
Imam Bukhori memasukan hadits ini kedalam Bab Zina Anggota Tubuh Selain
Kemaluan, artinya bahwa zina tidak hanya terbatas pada apa yang dilakukan oleh
kemaluan seseorang saja. Namun zina bisa dilakukan dengan mata melalui pandangan
dan penglihatannya kepada
sesuatu yang tidak dihalalkan,
zina bisa dilakukan dengan lisannya dengan membicarakan hal-hal yang tidak benar dan zina juga bisa
dilakukan dengan tangannya berupa menyentuh, memegang sesuatu yang diharamkan.
Ibnu Hajar menyebutkan
pendapat Ibnu Bathol yaitu,”Pandangan dan pembicaraan dinamakan dengan zina
dikarenakan kedua hal tersebut
menuntun seseorang untuk melakukan perzinahan yang sebenarnya. Karena itu kata selanjutnya adalah “serta kemaluan
membenarkan itu semua atau
mendustainya.” (Fathul Bari juz XI hal
28)
Meskipun demikian hukum zina tangan, lisan dan mata tidaklah sama
dengan zina sebenarnya yang
wajib atasnya hadd. Si pelakunya hanya dikenakan teguran dan
peringatan keras.
DR Wahbah menyebutkan
bahwa pelaku onani haruslah diberi teguran keras dan tidak dikenakan atasnya
hadd. (al Fiqhul Islami wa Adillatuhu
juz VII hal 5348)
Begitu pula penjelasan
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dengan bersandar pada pendapat yang paling benar
dari Imam Ahmad bahwa pelaku onani haruslah diberikan teguran keras. (Majmu’ al
Fatawa juz XXIV hal 145)
Ibnul Qoyyim mengatakan,”Adapun teguran adalah pada setiap
kemaksiatan yang tidak ada hadd
(hukuman) dan juga tidak ada kafaratnya. Sesungguhnya kemaksiatan itu mencakup tiga macam :
1. Kemaksiatan yang
didalamnya ada hadd dan kafarat.
2. Kemaksiatan yang
didalamnya hanya ada kafarat tidak ada
hadd.
3. Kemaksiatan yang
didalamnya tidak ada hadd dan tidak
ada kafarat.
Adapun contoh dari macam yang pertama adalah mencuri, minum khomr, zina dan
menuduh orang berzina.
Adapun contoh dari macam kedua adalah berjima’ pada siang hari di bulan
Ramadhan, bersetubuh saat ihram.
Adapun contoh dari macam yang ketiga adalah menyetubuhi seorang budak yang dimiliki bersama antara dia
dan orang lain, mencium orang asing dan berdua-duaan dengannya, masuk ke kamar mandi tanpa
mengenakan sarung, memakan
daging bangkai, darah, babi dan yang sejenisnya. (I’lamul Muwaqqi’in juz II hal 183)
Adapun terkait dengan permasalahan orang-orang yang melampiaskan kepuasannya dengan menghayalkan orang lain maka ini termasuk zina maknawi.
Untuk lebih jelasnya anda bisa baca dalam jawaban sebelumnya di rubrik ini tentang “Berfantasi Saat Berhubungan Badan”.
Wallahu A’lam